Dampak Kebisingan terhadap Paus dan Mamalia Laut

By , Kamis, 20 Februari 2014 | 12:29 WIB

WWF akhir pekan lalu (14/2) menerbitkan sebuah laporan baru. Laporan berjudul Reducing Impacts of Noise from Human Activities on Cetaceans: Knowledge Gap Analysis and Recommendations itu menjelaskan berbagai masalah yang dialami paus dan mamalia laut yang hidup di perairan yang bising.

Masalah yang dihadapi paus dan mamalia laut yakni kesulitan menemukan pasangan dan mencari makan. Selain itu, laut yang bising juga berpotensi menjauhkan paus dari habitat utama mereka.

Terdamparnya paus dan mamalia laut di berbagai belahan dunia masih diselimuti misteri. Polusi suara semakin kuat diduga sebagai salah satu penyebabnya, setelah dilakukan autopsi pada 7 ekor paus yang terdampar di pantai Kepulauan Bahama.

Terjadi gangguan pada indera pendengaran mereka dengan ditemukannya pendarahan didekat telinga dan di dalam cairan otak mamalia laut dari ordo Cetacea tersebut.

Menurut Aimee Leslie, Global Cetacean and Marine Turtle Manager untuk WWF, “Telah ditemukan bukti peningkatan kebisingan di seluruh perairan di dunia. Lalu lintas kapal berukuran besar, serta gelombang sonar yang dimanfaatkan untuk eksplorasi minyak lepas pantai dan pelatihan militer menambah kebisingan pada ekosistem laut.”

Bagi mamalia laut, mendengar sama pentingnya dengan melihat bagi manusia. Mamalia laut menggunakan berbagai jenis suara untuk komunikasi, dan biosonar untuk mencari makan dan mendapatkan petunjuk arah. Suara-suara asing yang ditimbulkan dari kegiatan manusia berpotensi besar  menggangu komunikasi paus dan lumba-lumba dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Selain menyamarkan suara-suara yang diproduksi para mamalia laut tersebut, kebisingan di laut juga mengubah perilaku mereka dan membuat mereka menjauh dari habitat asalnya.

Kegiatan eksplorasi dan pengeboran industri minyak dan gas di laut lepas, terutama yang menggunakan alat echo-sounder, serta pelayaran komersial, memproduksi suara di kisaran pendengaran paus, lumba-lumba, dan mamalia lautnya, yaitu 10 - 200 kHz. Kisaran suara inilah yang tumpang tindih dengan kisaran suara mamalia laut sehingga dapat membingungkan atau bahkan berakibat fatal bagi hewan-hewan tersebut.

Mamalia laut terbesar di dunia, paus biru (Balaenoptera musculus), memproduksi suara dengan frekuensi sekitar 20 Hz. Manusia pada umumnya dapat mendengar percakapan satu sama lain pada kisaran 100 - 1000 Hz.

Paus, lumba-lumba, juga ikan terbesar yaitu hiu paus, sering ditemukan terdampar di pantai-pantai di Indonesia (baca laporan lengkapnya: Para Gergasi yang Terempas). Sejumlah ilmuwan dan pegiat lingkungan sering menanggapi kejadian terdampar ini dengan upaya penyelamatan hewan tersebut.

Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab hewan tersebut terdampar dan bagaimana pencegahannya.

Bila diketahui tingginya polusi suara didalam air sebagai penyebabnya, maka pemerintah perlu mengubah beberapa regulasi terkait lintasan kapal,  termasuk penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia, penataan wilayah eksplorasi dan aktivitas perikanan.

Selain polusi suara, paus dan lumba-lumba juga terancam mati sebagai tangkapan sampingan dari praktik penangkapan ikan. Pekan ini, penangkapan yang tanpa sengaja (bycatch) juga baru saja terjadi di perairan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Menurut berita yang dilansir Mongabay Indonesia, lumba-lumba bungkuk (Sousa chinensis) berwarna putih seberat 100 kilogram tewas terjaring pukat nelayan.

Data WWF menyebutkan, satwa laut dilindungi yang terakhir tertangkap selama kurun 2012-2013 antara lain penyu, hiu, dugong, pesut dan burung laut dengan jumlah hiu tertinggi. Tercatat 982 hiu tertangkap selama satu tahun, diikuti penyu 287, pesut 10, dugong empat, dan burung laut tiga ekor.

Sangat diperlukan kerjasama yang penting dalam menangani dampak dari kegiatan antropogenik pada mamalia laut. Tidak hanya untuk mencegah penurunan populasi satwa-satwa tersebut, tapi juga memberikan informasi kepada publik terkait pengelolaan kegiatan manusia dan konsekuensinya.