Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dikenal sebagai mamalia arboreal atau hidup di antara pepohonan yang tinggi. Catatan terhadap kebiasaan mereka berjalan di atas tanah masih jarang dan terkait dengan adanya gangguan terhadap habitat.
Namun itu terindikasi dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Mark Harrison dari Jurusan Geografi di University of Leicester serta Direktur Operasional Orangutan Tropical Peatland Project (OuTrop), dan telah diterbitkan jurnal Scientific Reports.
Studi yang dilakukan Dr. Harrison bersama dengan sejumlah koleganya selama tujuh tahun ini berbasis pada analisis skala besar menggunakan data dari kamera jebak di 16 lokasi di Kalimantan. Secara total, dari hasil pemotretan dengan kamera jebak ini terekam 641 individu orangutan, dengan 1.409 kamera dengan lebih dari 159,152 hari beroperasi kamera jebak.
Ketergangguan habitat menjadi pendorong kebiasaan orangutan berjalan di tanah. “Kita sudah memahami sejak lama bahwa orangutan menggunakan tanah untuk berjalan dan mencari makan, tapi pengaruh dari ketergangguan antropogenik yang menjadi pendorong kebiasaan ini, masih belum sepenuhnya jelas. Menjadi penting untuk memahami hilangnya hutan dan fragmentasi, dimana hal ini menghilangkan habitat asli orangutan,” ungkap Dr. Harrison.
“Kami menemukan bahwa kendati tingkat kerusakan hutan dan kerimbunan kanopi mempengaruhi kebiasaan berjalan mereka di tanah.
“Dalam kajian ini semua kelas usia orangutan tercatat melakukan aktivitas di atas tanah, jantan dewasa yang memiliki pipi lebar memiliki kebiasaan berjalan di tanah lebih sering. Hasil temuan ini juga memperlihatkan bahwa pergerakan darat merupakan bagian dari kebiasaan alami orangutan Kalimantan dibanding yang kita pahami sebelumnya, dan hal ini hanya dipengaruhi oleh ketergangguan habitat,” tambah Dr. Harrison.
“Kemampuan orangutan untuk turun dari pohon akan meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan fragmentas hutan dalam skala kecil, dan untuk melintasi lahan terbuka di bentang alam yang berbeda, kendati kemampuan ini masih harus diselidiki lebih jauh.”
Para penulis laporan ini menyatakan bahwa lebih dari 70% orangutan muncul di hutan-hutan yang dimanfaatkan untuk banyak hal berbeda, dan sudah diubah oleh manusia yang menyebabkan hilangnya karakter asli ekologis setempat. Kebiasaan orangutan yang berubah yang semakin banyak menghabiskan waktu di atas tanah dibanding di atas pohon menimbulkan pro dan kontra.
“Meningkatnya kemampuan di atas tanah kemungkian meningkatkan resiko diburu, interaksi dan penangkapan oleh manusia, dan kemungkinan terjangkit penyakit tertentu. Tidak seperti di Sumatera, dimana ada kehadiran harimau, perburuan oleh satwa lain tidak banyak terjadi di Kalimantan, kendati demikian bayi orangutan mungkin akan jadi korban babi liar dan macan dahan. Namun dalam sejarah terkini, musuh terbesar mereka adalah manusia, yang seringkali menangkap mereka dari atas pohon: orangutan membuat suara yang gaduh dan mereka mudah diketahui di atas pohon. Meski begitu, mereka bisa sangat hening di daratan dan lebih mudah untuk melarikan diri di darat.”
Para ahli juga melaporkan bahwa kebiasaan berjalan di atas tanah juga bisa membuat mereka lebih mudah bergerak di bentang alam yang sudah rusak sebagai akibat dari perilaku manusia. Hal ini juga meciptakan kemungkinan baru untuk mendapatkan sumber makanan bagi orangutan.
Singkatnya, pemahaman terhadap kebiasaan orangutan yang semakin sering berjalan di atas tanah akibat dari adanya degradasi hutan, akan memerikan masukan penting bagi upaya pelestarian satwa unik Indonesia ini.