Lurik Menerobos Zaman

By , Senin, 24 Februari 2014 | 10:35 WIB

Lurik, kain unik yang mewarnai perjalanan peradaban bangsa ini. Lurik tak ubahnya artefak yang merekam semangat dan selera zaman, yang memang tumbuh dari kalangan jelata—masyarakat agraris.

Oleh karena itu, karakter kesederhanaan melekat dalam identitas lurik. Di antara tenun Indonesia lainnya, lurik adalah jenis tenun yang proses pembuatannya paling sederhana.

Lurik terpaut erat dengan sejarah bangsa. Jejaknya yang penting dalam kemandirian sandang masa lampau telah terpahat pada prasasti dan relief candi.

Walau sempat jaya, bagaimana perjuangan lurik kini ketika harus menghadapi perubahan zaman?

Bertahannya lurik melintasi pergantian zaman tak lain karena kehadirannya terhubung dengan daur kehidupan manusia Jawa pada umumnya. Sebagai contoh, sejak usia tujuh bulan di dalam kandungan, lurik motif tumbar pecah menjadi sarana doa agar bayi lahir selamat.

Lurik motif tuluh watu yang dipahat dalam Prasasti Raja Airlangga berangka tahun 1033, masih dipakai anak-anak dalam upacara ruwatan penolak roh jahat.

Koestriastuti, pengurus perkumpulan Cita Tenun Indonesia (CTI) mengidentifikasi beberapa kendala terkait perkembangan lurik. Kesejahteraan perajin tergolong rendah, tidak ada regenerasi, dan perajin bergantung kepada bahan baku benang serta pewarna impor.

Manajer Produksi dan Quality Control CTI, Sjamsidar Isa menegaskan perlunya perindungan pemerintah demi pelestarian kain tradisional.

Kreativitas

Kreativitas juga menjadi kunci siasat pertahanan bagi Kurnia Lurik di Krapyak Wetan, Bantul, DI Yogyakarta. Ketika pengusaha-pengusaha lurik gulung tikar, Kurnia Lurik bertahan sejak didirikan tahun 1962 oleh Dibyo Sumarto (alm).

Dengan 50 pekerja yang mayoritas lanjut usia, Kurnia Lurik stabil memproduksi 4.500 meter lurik per bulan.

Produksi pakaian adat bagi abdi dalem keraton tetap digenjot. Namun, pakem klasik ini telah berkembang pula sesuai tren warna dan penataan garisnya pun makin abstrak.

Pada masa sulit era 1980-an, produksi terdongkrak bagi pemenuhan kebutuhan seragam sekolah. Lurik unggul sebagai seragam karena bahannya tebal, kuat, awet.

Sejak 2000, Kurnia Lurik mengusung fesyen lurik sebagai pakaian sehari-hari. Pengembangan lurik juga mengarah pada pembuatan kerajinan tangan: dompet, tas, perlengkapan interior.

“Lulus kuliah, awalnya saya tidak mau kerja di sini. Tapi eman-eman kalau enggak diteruskan. Selagi pakaian masih berbahan kain, masih ada kesempatan lurik dilirik,” ujar Jussy Rizal (27), cucu Dibyo Sumarto yang kini mengelola Kurnia Lurik bersama keluarganya.