Gizi Rendah Mengancam Sumber Daya Manusia Indonesia

By , Rabu, 26 Februari 2014 | 09:00 WIB
()

Seteah hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, jumlah anak balita stunting (bertubuh pendek) masih sangat besar. Kondisi fisik yang diakibatkan kurang gizi itu bisa mengancam produktivitas dan daya saing bangsa dibandingkan bangsa-bangsa lain. Namun, persoalan gizi masih dianggap urusan sektor kesehatan belaka.

Anak stunting memiliki risiko lebih besar terserang penyakit tidak menular saat dewasa, seperti diabetes dan jantung koroner. Dampak jangka panjangnya, anak pendek akan memiliki produktivitas rendah. Padahal, kualitas sumber daya manusia adalah tumpuan pembangunan Indonesia di masa datang.

Para peserta Kompetisi Anak Remaja untuk Pembangunan Berkelanjutan dari berbagai daerah Indonesia, sedang menyanyikan Mars "Anak Indonesia Cinta Bumi Kita", Kamis (7/11). (Gloria Samantha/NGI)

“Anak stunting akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan kognitif,” kata Deputi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Nina Sardjunani di Jakarta, Selasa (25/2).

Guru Besar Gizi (emeritus) Institut Pertanian Bogor Soekirman mengatakan, kurang gizi pada usia 1.000 hari pertama kehidupan—ketika otak manusia mengalami perkembangan hingga 80 persen—akan membuat pertumbuhan sel-sel otak itu terganggu. “Akibatnya perkembangan otak anak tidak optimal, inteligensianya juga rendah,” katanya.

Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, prevalensi anak balita bertubuh pendek 37,2 persen. Mereka tersebar di seluruh Indonesia. Di provinsi dengan tingkat kesejahteraan tinggi, seperti Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta, prevalensinya kurang dari 30 persen. Tapi di provinsi miskin seperti Nusa Tenggara Timur, prevalensinya lebih dari 50 persen.

Kasus anak balita pendek seharusnya terdeteksi jika anak balita rutin ditimbang dan diukur tingginya di posyandu. Belum semua orangta sadar memeriksakan anak ke posyandu berkala tiap bulan. Selain itu, tidak semua kader posyandu mampu menjelaskan dan memberikan solusi atas setiap persoalan gizi yang dihadapi anak balita dan ibu hamil.

Selain memperkuat peran posyandu, penanganan kasus kurang gizi dan balita pendek juga harus dilakukan sejak dini, jauh sebelum seorang ibu hamil—bahkan saat calon ibu masih remaja.

Nani mengingatkan, upaya meningkatkan status gizi masyarakat tidak cukup dengan program pemberian zat gizi tambahan atau konseling. Intervensi di luar sektor kesehatan memiliki andil pula untuk mengurangi persoalan gizi buruk ini.

Antara lain, berupa peningkatan akses air minum dan sanitasi layak, pelayanan keluarga berencana (KB), serta berbagai program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

Upaya-upaya tersebut harus sejalan dengan program peningkatan gizi masyarakat yang menjadi tanggung jawab langsung dari sektor kesehatan.