Saat Pak Boediono Menari di Trotoar Jalanan

By , Rabu, 5 Maret 2014 | 17:15 WIB
()

Gerakannya tangannya luwes, kakinya lincah melangkah maju mundur ke sana kemari. Kepalanya menggeleng-geleng, pinggulnya pun ikut melenggang lenggang lenggok mengikuti hentakan musik dari sebuah pengeras suara yang diletakkan di sadel motor yang diparkir di atas trotoar jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Lelaki tua itu terus menari, udara sore ibukota yang membuat gerah tak jua menghentikan tariannya. Suara hingar bingar mesin kendaraan seperti tak diindahkannya. Keringat membasahi kemeja sorjan - pakaian khas Jawa - di bagian ketiak dada dan lehernya. Sesekali ia membetulkan posisi blangkonnya yang berubah karena gerakannya.

Saat musik berhenti untuk jeda ke lagu berikutnya barulah ia berhenti sejenak. Saat lagu berikutnya mulai mengumandang ia pun kembali menggerakan badannya mengikuti hentakan musik dari pengeras suara.

Boediono nama bapak yang menari di atas trotoar jalan itu. Usianya 62 tahun asal kota Malang, Jawa Timur. Sejak dua tahun lalu ia sudah mulai menari di atas tratoar untuk mencari nafkah. Sebelumnya ia bekerja sebagai supir yang ia jalani sejak pertama kali datang ke Jakarta tahun 1997. “Oleh teman-teman di jalan saya dipanggil Pakde Boed,” ia menjelaskan namanya.

“Saya ke Jakarta sebelum Pak Harto lengser,” Boediono mengenang awal kedatanganya ke Jakarta. Saat itu ia baru saja pensiun dini dari sebuah badan usaha milik negara. Dengan modal pesangon yang ia dapat ia pun membuka berwirausaha, namun sayang usahanya kandas. “Karena tidak pengalaman akhirnya jatuh.” Istrinya pun meninggalkannya. “Saya stress sedikit, harta sudah ludes, rumah tangga berantakan,” lanjutnya lagi.

Lalu ia memutuskan datang ke ibu kota. “Barangkali di Jakarta ada harapan,” begitu tekadnya.

Pak Boediono, 62 tahun, menari di trotoar di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman dengan harapan bisa mendapat uang dari pegawai kantoran yang melintas. (Feri Latief)

Akhirnya ia mendapat pekerjaan menjadi supir pribadi. Kerja kerasnya membuahkan hasil, enam dari tujuh anaknya sudah menjadi sarjana. Hanya satu orang yang belum lulus kuliah. “Anak saya tinggal satu, terakhir. Tinggal di wisuda habis itu selesai sudah,” lanjutnya lagi.

Saat usianya mulai bertambah ia merasa fisiknya sudah tidak mendukung untuk menjadi supir. “Fisik sudah tidak mungkin. Saya cari sesuatu yang orang senang tapi ada rejekinya. Saya mencari celah di situ,” ia menjelaskan kenapa ia akhirnya memilih mengamen dengan tarian di trotoar jalan.

Lalu ia membeli aki mobil dan perangkat stereo yang ia pasang di motornya. Lalu mulailah ia menari di jalan-jalan untuk mencari nafkah. Di akhir pekan ia menari di Monas dan di hari kerja ia menari di trotoar antara jalan Thamrin dan Sudirman.

Jenis tarian yang sering dibawakannya adalah tarian Gambyong dari Jawa. “Tapi dari berbagai macam suku saya pakai. Seperti Minang dan Sunda,” jelasnya tentang tarian yang ia bawakan di trotoar. Ternyata banyak pejalan kaki yang menghargai upayanya. Tak sungkan para pejalan kaki memberi uang yang dimasukan dalam sebuah kaleng plastik yang sudah ia siapkan.

“Kalau ramai saya bisa mendapat seratus(ribu rupiah)lah bahkan tiga ratus(ribu rupiah), kalau sepi paling nggak dibawah seratus(ribu rupiah)lah”, Boediono menceritakan pendapatannya perhari. Menurutnya belakang ini ia kerja lebih keras lagi untuk mencari uang. Alasannya? “Saya mau nikah, saya kumpulkan untuk persiapan,” terang Boediono. Sejak berpisah dengan istrinya menurutnya inilah saat yang paling tepat untuk menikah lagi.

Apakah yang ia lakukan di trotoar ini semata untuk mencari uang? “Saya punya misi dan visi agar hal-hal seperti ini berkembang pesat, diangkat.” Boediono menjelaskan kenapa ia memilih tarian tradisional. “Budaya kita kalah dengan jazz, rock. Budaya kita yang asli sudah luntur. Ada tertentu saja, di hotel-hotel saja yang ada”

Untuk itulah ia membuat sebuah spanduk kecil yang dipasang di badan motornya bertuliskan:

“Kesenian zaman kuno jangan dilupakan. Milik bangsa Indonesia terbaik di dunia”

 

Boediono adalah potret tentang urbanisasi, bagaimana kota besar menjadi daya tarik banyak orang untuk mengejar mimpi. Saat sektor formal tak lagi bisa menampung mereka untuk berkarya maka ruang-ruang publik pun dijadikan tempat untuk mengais harapan yang tersisa. 

 Ia juga potret tentang kehidupan seseorang di usia lanjut di negeri ini. Ia bukanlah orang kaya dan punya penghasilan dari pensiun. Banyak orang usia lanjut di negeri ini yang masa tuanya harus berhadapan dengan kemiskinan. Untunglah ia punya keahlian dan modal untuk terus berjuang untuk mencari nafkah di ibukota.

Teruslah menari untuk Indonesia, Pak Boed!