Kata Psikolog, Masih Banyak Tanda Tanya dalam Kasus Ade Sara

By , Sabtu, 8 Maret 2014 | 11:45 WIB

Ade Sara Angelina Suroto (19), Ahmad Imam Al Hafitd, dan Assyifa Ramadhani dikenal sebagai teman satu SMA. Hubungan ketiganya yang diwarnai cinta, benci, cemburu, dan berujung kematian menimbulkan tanda tanya. Ada masalah apa dengan mereka?

"Tentu ada suatu hal berat dari mereka bertiga, sampai terjadinya hal itu ," kata psikolog asal Univeristas Indonesia, Dini Cokro, Sabtu (8/3).

Menurutnya, masih banyak yang menjadi tanda tanya dari kasus tersebut. Misalnya, mengapa Assyifa mau terlibat merencanakan pembunuhan Ade Sara? Mengapa Ade Sara tidak mau bertemu mantan pacarnya, Hafitd? Dan mengapa Hafitd bisa sesadis itu merencanakan pembunuhan.

Menurutnya, ide rencana pembunuhan muncul karena adopsi dari lingkungan. Apa kegiatan sehari-hari yang dilakukan Hafitd dan Assyifa? Sebab, kata dia, jika persoalannya hanya cemburu, hal itu merupakan hal kecil jika harus diakhiri dengan cara membunuh. Terlebih, pembunuhan itu menggunakan alat kejut listrik.

Selain itu, lanjutnya, kata menyesal baru terucap setelah pelaku sudah berurusan dengan pihak berwajib. Hal itu, menurutnya, di luar jangkauan pribadi normal.

Meski begitu, Dini belum berani menyebut bahwa pelaku memiliki kepribadian seperti seorang psikopat sebab dirinya tidak memeriksa langsung. Ia hanya menggambarkan, contoh psikopat seperti seorang koruptor, yang tega melihat orang di sampingnya menderita.

Meski demikian, ia memperkirakan ada masalah dalam kepribadian pelaku yang bersangkutan. Faktor kekerasan yang datang dari tayangan kekerasan di media juga bisa ada dalam kasus ini.

"Sehingga tidak kenal kasih sayang dan egoistis," ujar Dini.

Kriminolog Univeristas Indonesia, Bambang Widodo Umar, menyatakan, dari sisi kriminolog kasus semacam ini merupakan kejahatan ekstrem di luar batas kewajaran. Pelaku bisa saja meniru faktor internal ataupun eksternal dari lingkungan sekitarnya.

Ia mengutarakan hal senada bahwa tayangan kekerasan bisa memicu perilaku meniru. Terkadang, mereka yang mengonsumsi tayangan kekerasan, meski bersifat imajinasi, menurut Bambang, bisa dianggap sebagai sesuatu yang benar.

"Kita sekarang itu hal demikian berkembang sebetulnya. Tinggal pertahanan diri dari anak dan besik dari keluarga. Kalau keluarga bisa mentransformasi nilai budi pekerti saya kira anak bisa bertahan," ujar Bambang.