Gegabah, Memvonis Hafitd dan Syifa Adalah Psikopat Tanpa Memeriksa Langsung

By , Sabtu, 8 Maret 2014 | 22:43 WIB

Pembunuhan berencana yang dilakukan pasangan remaja, Ahmad Imam Al Hafitd (19) dan kekasih barunya Assyifa Ramadhani (18) terhadap mantan kekasih Hafitd, Ade Sara Angelina (18) dinilai merupakan tindakan yang cukup kejam dan diluar nalar. 

Banyak pihak dan kalangan bahkan para ahli dan pakar psikologi yang berani menilai Hafitd dan kekasih barunya Syifa, adalah psikopat atau penderita ganggguan jiwa atau gangguan kepribadian yang identik dengan perilaku kejam tanpa penyesalan atau tanpa rasa takut. 

Kasandra Putranto, Psikolog Klinis dan Forensik, mengatakan, penilaian sepihak yang dilakukan seorang psikolog dengan langsung men-judge atau memvonis bahwa Hafitd dan Syifa adalah seorang psikopat, tanpa memeriksa langsung keduanya, adalah penilaian gegabah.

"Dari pemberitaan sudah banyak psikolog yang berani memvonis tersangka sebagai psikopat, padahal mereka belum memeriksa langsung. Ini penilaian dan vonis yang gegabah atau sembarangan," kata Kasandra, Sabtu (8/3). 

Menurutnya seorang psikolog tidak bisa memvonis seseorang itu sebagai psikopat hanya berdasar pada pemberitaan dan pernyataan orang lain saja. "Untuk sampai pada vonis itu, seorang psikolog harus memeriksa langsung dan ada serangkaian tes dan pemeriksaan yang akan dilakukan," ujarnya. 

Intinya, ia menegaskan ada rangkaian panjang pemeriksaan dan analisa yang dilakukan psikolog dengan cermat, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa seseorang itu psikopat atau bukan. 

Selain itu, kata Kasandra, penilaian dan vonis beberapa psikolog terhadap dua tersangka dalam kasus pembunuhan Ade Sara ini, dengan tanpa melakukan pemeriksaan, sudah melanggar kode etik profesi sebagai seorang psikolog. 

"Jelas, vonis dan penilaian tanpa memeriksa adalah pelanggaran kode etik profesi psikolog. Ini pendapat saya. Seharusnya tidak boleh psikolog memvonis hanya berdasar pada analisa dari pemberitaan dan keterangan orang lain saja," kata Kasandra. 

Untuk itu, ia meminta semua psikolog menghormati kode etik ini agar masyarakat tidak tersesat dalam mendapatkan informasi, melalui pemberitaan. 

"Sayangnya lagi, penilaian dan vonis itu tersebar dalam pemberitaan dan akibatnya masyarakat bisa mendapatkan informasi yang salah," katanya.