Asap Riau Juga Merugikan Sosial dan Ekonomi

By , Senin, 10 Maret 2014 | 14:00 WIB

Lebih dari 12.000 hektare hutan di Riau terbakar sejak Februari lalu. Jumlah ini besar kemungkinan akan terus bertambah.

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kabut asap yang muncul sebagai akibat kebakaran tersebut telah membuat setidaknya 30.249 orang menderita infeksi saluran pernapasan akut, 562 orang menderita pneumonia, lalu asma 1.109 orang, iritasi mata 895 orang, dan iritasi kulit 1.490 orang.

Mereka juga mencatat bahwa kerugian akibat bencana asap ini mencapai lebih dari Rp10 triliun. Angka ini berasal dari kerugian karena menurunnya produktivitas usaha, mobilisasi barang dan orang melalui transportasi darat, udara, laut tertunda dan terganggu. Ditambah lagi dengan permasalahan politik yang melibatkan negara-negara tetangga.

PT Angkasa Pura II selaku pengelola sejumlah bandara mengaku jelas merugi dengan adanya bencana kabut asap yang mengganggu penerbangan di sejumlah daerah. Direktur Operasi Kebandarudaraan PT Angkasa Pura Endang Sumiarsa, dikutip Kompas, Jumat (7/3) lalu di Palembang, menyatakan berharap kabus asap bisa segera diatasi. Pemerintah seharusnya bisa mengendalikan pembakaran hutan dan lahan sehingga tidak muncul kabut asap dalm skala besar.

Untuk kesekian kali pada sebulan terakhir, kabut asap melumpuhkan bandara Pekanbaru. Kondisi terburuk terjadi pada dua hari terakhir sehingga kegiatan bandara nyaris tutup. Pekanbaru terlihat dipenuhi asap putih. Dalam radius 100 meter, manusia yang berjalan hanya terlihat bagai siluet.

“Kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di Riau tidak hanya mengakibatkan kerusakan ekosistem yang masif tetapi juga sudah merusak tatanan ekonomi dan sosial nasional,” kata Dr. Arnold Sitompul, Direktur Program Yayasan KEHATI dalam pernyataan pers, Jumat (7/3).

“Tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah mengakibatkan kebakaran hutan selalu terjadi dari tahun ke tahun. Sementara, di sisi lain, kita punya banyak lembaga setingkat kementerian yang seharusnya dapat berperan strategis dalam mengatisipasi masalah ini”, ujarnya.

Berkaca pada peristiwa kebakaran hutan yang terjadi sejak awal tahun 2014, sudah seharusnya Pemerintah segera melakukan evaluasi serius terhadap strategi pencegahan dan penanganan kebakaran hutan di wilayahnya. Setiap tahun terjadi kebakaran hutan di wilayah Riau yang imbasnya tidak hanya dirasakan masyarakat dan kalangan bisnis di Riau saja, tapi juga sudah mengganggu hingga negara tetangga.

Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, baik terhadap elemen-elemen yang sudah dibentuk untuk melakukan pencegahan dan penanganan kebakaran hutan maupun dari sisi penegakan hukumnya. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Riau harusnya berani menindak tegas masyarakat dan mencabut izin perusahaan yang terbukti menyebabkan kebakaran hutan.

Arnold menambahkan, saat ini penanggulangan kebakaran hutan hanya dilakukan pada saat kebakaran sudah terjadi tetapi tidak ada strategi yang baik dalam antisipasi untuk pencegahan. Sebagai contoh, pemerintah selayaknya harus mengawasi pelaksanaan pembukaan lahan secara terpadu dan terintegrasi.

Hal keanekaragaman hayati, selain memusnahkan secara langsung, kebakaran hutan juga meningkatkan terjadinya konflik satwa dan manusia. Oleh karena itu, untuk mencegah kerugian lebih besar lagi, khususnya korban jiwa, sudah sepatutnya pemerintah memiliki strategi yang tepat dalam penanganan konflik satwa-manusia sebagai imbas dari kebakaran hutan.

(Baca lagi di: Kabut Asap Riau Meluas hingga Harimau Keluar Habitat)

Lebih jauh lagi, kebakaran hutan berulang-ulang ini telah mempermalukan bangsa Indonesia di mata dunia. Janji pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 26% di tahun 2020, tidak akan pernah tercapai apabila kebakaran hutan terus tejadi setiap tahun dan tidak ada strategi baru dalam pengelolaan hutan dan lahan. Ditegaskan Arnold, Pemerintah perlu menyikapi secara serius karena komitmen ini harus dipenuhi kalau kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat.