Imaji Sederhana dari Kisah Perdamaian di Maluku

By , Selasa, 11 Maret 2014 | 11:33 WIB
()

Festival Orang Basudara digelar di Goethe Institut Jakarta, 10 Maret 2014. Berlangsung dari pukul 15.00 WIB dan selesai sekitar pukul 22.00.

Walau hanya satu hari digelar tapi padat acara dari pameran foto, peluncuran buku Carita Orang Basudara, diskusi dengan aktivis perdamaian Maluku dan pemutaran film dokumenter tentang upaya perdamaian antara umat beragama di Maluku. Festival ditutup dengan pentas musik oleh artis kenamaan ibu kota seperti Glen Fredly, Tompi, Melanie Subono, dan Sandy Sandoro.

Yang menarik dari festival ini foto-foto yang disajikan dalam pamerannya sebuah Maluku yang berbeda dari sering diberitakan oleh media-media nasional. Seringnya media nasional memberitakan hal-hal negatif berbau konflik dari Maluku seperti perang antar kampung, perkelahian pemuda atau kerusuhan.

Dalam foto-foto yang dipamerkan hal kebalikan dari pemberitaan media nasional diceritakan dalam setiap frame fotonya. Dari 24 foto yang dipamerkan hampir semua bercerita tentang persaudaraan yang kembali dijalin setelah melewati masa-masa sulit konflik di Maluku yang berdarah-darah.

Foto karya Hilary Syaranamual begitu menyentuh hati, gambar seorang ibu yang beragama Kristen memeluk saudaranya dari kampung lain yang beragama Islam. Peristiwa ini terjadi saat upacara adat dalam rangka pendirian Gereja di negeri (desa) Tuhaha di pulau Saparua. Yang memeluk ibu itu adalah penduduk dari negeri Rohomuni di pulau Haruku. Ini adalah tradisi Pela Gandong, sejatinya ikatan persaudaraan di Maluku.

Sebenarnya apa makna Pela Gandong bagi masyarakat Maluku?

“Pela itu relasi pakta kekerabatan atau kekeluargaan yang diangkat antar dua negeri adat karena situasi tertentu. Misalnya kalau bencana yang lain bantu atau kecelakaan di laut yang lain bantu. Terus mereka bikin pakta persaudaraa, menjadi saudara mereka,” Jacky Manuputty, aktivis perdamaian yang juga salah seorang penggagas acara ini menjelaskan.

Ikatan persaudaraan yang telah dibentuk biasanya ada ketentuan-ketuntuan yang mengatur hubungan itu. Misalnya kalau Pela-nya datang saat musim buah, anggota keluarga yang telah diikat Pela dibolehkan mengambil buah di pohon milik anggota keluarga lain. Tidak ada larangan.

“Atau misalnya kebetulan dua desa itu beda agama, yang muslim mau mendirikan atau merenovasi masjid. Yang Kristen yang punya relasi Pela membantu bagian apa bagian apa. Misalnya memasang kubah masjid, itu harus dari mereka. Mereka tidak akan melakukan itu kalau saudara Pelanya belum datang,” jelas Jacky.

Masyarakat dan raja negeri Soya dan Passo yang Kristen (berbaju merah) berbaur dengan masyarakat dan raja negeri Pela Gandong-nya yang Muslim dari negeri Batumerah (berbaju putih) saat pemasangan tiang alif Masjid Raya Batumerah tahun 2007. (Festival Orang Basudara/Zairin "Embong" Salampessy)
 

Sedangkan Gandong secara harfiah berarti kandung, ikatannya jauh lebih kuat. Ikatannya lebih dari dua desa bisa sampai tujuh desa. Tradisi Gandong berasal dari desa-desa yang percaya bahwa para leluhur mereka dulu adalah adalah kakak beradik. Kemudian bereka berpencar dan menganut agama baru yang mulai berdatangan. Ikatan dan ketentuan persaudaraan Gandong desa-desa itu jauh lebih kuat Pela.

“Kalau desa beda agama, yang kristen membangun gereja mesti ada tiang yang dari desa Gandongnya. Atau juga pasang tiang Alif (tiang utama) di mesjid,” terang Jacky.

Setelah tiang dipasang mereka akan menulis dari desa mana tiang itu berasal, baik itu desa kristen atau desa muslim. “Ada gereja yang dibangun di Saparua, saudara Pela-nya itu dari pulau Haruku yang muslim. Dan itu harus lewat prosesi adat. Dipikul, dibawa dan mereka harus pasang di dalam gereja itu. Dan ditulis dari negeri Rohomoni.”

Foto yang dibuat Zairin “Embong” Salampessy menceritakan tentang proses adat pikul tiang itu. Masyarakat desa Soya dan desa Passo yang beragama kristen bersama masyarakat negeri Pela Gandong-nya, desa Batu Merah yang muslim bersama-sama memikul tiang Alif atau tiang utama mesjid Nurul Ikhlas yang akan dibangun.

Zairin “Embong” Salampessy adalah saksi hidup konflik Maluku. Ia aktif membantu PMI saat konflik berlangsung. Ia aktivis perdamaian yang sering melakukan pendekatan kepada pihak-pihak yang berkonflik. Sayangnya kedekataannya pada kedua belah pihak malah dicurigai, nyawanya malah terancam. Begitulah kondisi Maluku saat konflik, untuk menyerukan damai saja malah dicurigai oleh dua pihak yang bertikai.

Saat-saat sulit itu sudah terlewati, masyarakat sadar bahwa mereka bersaudara dan tak ada gunanya perang yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Kini mereka bergerak di akar rumput untuk terus melakukan upaya rekonsiliasi. Salah satu caranya yang efektif adalah lewat tradisi.

 

 

Lihatlah foto yang dibuat Reza Syaranamual tentang tradisi Cuci Negeri di negeri (desa) Soya yang mayoritas beragama kristen. Masyarakat kembali diingatkan bahwa mereka adalah bersaudara. Tradisi ini dilakukan menjelang pergantian tahun baru di bulan Desember. Masyarakat membersihkan desanya dari hal-hal negatif. Upacara kerja bakti ini melibatkan negeri Gandong-nya, yaitu negeri Morela yang muslim.

Foto-foto yang dipamerkan secara teknik sangat sederhana. Begitu pula sudut-sudut pengambilannya. Tapi dari kesederhaan itu muncul kekuatan yang luar biasa: kekuatan ikatan persaudaraan Maluku lewat tradisi Pela Gandong yang sempat dirusak oleh dogma dan fanatisme agama saat konflik berlangsung. Tapi foto-foto seperti itulah yang luput dari tayangan media nasional yang kerap memberitakan hal-hal negatif berbau konflik dari Maluku.

Seperti yang dikatakan Zairin “Embong” Salampessy pada saat pembukaan pameran. ”Ada proses ini lho yang luput dari pemberitaan media mainstream.”

Dari foto-foto sederhana yang dipamerkan itu media main stream tak punya kekuatan untuk mencapainya, malah ibu rumah tangga kebanyakan seperti Hilary Syaranamual yang membuat foto begitu menyentuh tentang persaudaraan di antara umat kristen dan islam. Bukan media mainstream.