Badan khusus PBB Unicef, mengungkapkan hal dalam laporannya, Selasa (11/3), konflik Suriah yang memasuki tahun keempat pada Maret ini, telah menimbulkan penderitaan berat di seluruh lapisan masyarakat.
Dampak bagi anak-anak Suriah sangat akut. Mereka mengalami malnutrisi dan penyakit menghambat pertumbuhan. Anak-anak tak dapat lagi bersekolah. Kehilangan orangtua, saudara, kerabat, dan teman akibat perang, pembunuhan, dan kekerasan lainnya meninggalkan derita psikologis yang dalam.
Menurut Unicef, "pasca tiga tahun konflik dan kekacauan, Suriah sekarang adalah salah satu tempat paling berbahaya di dunia untuk seorang anak".
Pada dasarnya, Unicef menyebut, satu generasi musnah di Suriah. Sejak konflik dimulai, beribu video dan foto bayi berlumuran darah, anak-anak tak bernyawa, kehilangan anggota tubuhnya, terluka akibat bom dan tembakan, secara gamblang menggambarkan betapa banyaknya korban anak.
Aksi kekerasan tersebut telah mendorong 2,5 juta penduduk mengungsi hingga ke luar negeri. Hampir tiga juta anak-anak yang mengungsi di wilayah Suriah. Sementara 1,2 juta anak meninggalkan negara tersebut dan hidup sebagai pengungsi di kamp-kamp di negara tetangga.
Keadaan mereka serbakekurangan; kekurangan air bersih, makanan, dan kebutuhan dasar lainnya.
(Baca: Pengungsi Suriah, Berlari kepada Ketidakpastian)
Lebih dari 2,8 juta anak tidak lagi bersekolah akibat kekerasan dan kehancuran di negerinya. Lebih dari dua juta anak lagi harus bertahan di sekolah-sekolah di perbatasan Suriah dengan risiko selalu terancam oleh perang.
Ribuan, bahkan jutaan, kaum anak terpaksa menanggung beban tugas sebagai orang dewasa. Satu dari lima remaja putri Suriah di Yordania dipaksa menikah di usia dini.