Pilihan Krimea "Pulang ke Rumah"

By , Senin, 17 Maret 2014 | 13:16 WIB

Perdana Menteri Krimea Sergei Aksyonov mengatakan kepada ribuan penduduk Krimea—yang bersuka cita di Lapangan Lenin Square di ibukota wilayah itu di Simferopol, bahwa Krimea 'pulang ke rumah'. Hasil referendum menyatakan mereka memisahkan diri dari Ukraina dan reunifikasi ke Rusia.

Sesudah penghitungan suara (16/3/2014), pemimpin wilayah otonom Krimea yang menjadi bagian Ukraina ini mengatakan ia akan mengajukan permohonan agar Krimea masuk (integrasi) menjadi bagian Rusia.

Dari 50 persen kertas suara yang dihitung, sekitar 95,5 persen pemilih Krimea memilih untuk bergabung dengan Rusia dalam referendum yang keabsahannya disengketakan itu. Para pemilih diminta menentukan dua pilihan: untuk bergabung dengan Rusia atau tetap bersama Ukraina dengan otonomi lebih besar.

Presiden Rusia Vladimir Putin sebelumnya telah menyatakan akan menghormati keinginan rakyat Krimea.

Banyak warga Krimea yang setia terhadap Pemerintah Ukraina memboikot referendum, terutama dari kelompok etnik Tatar dan Ukraina. Aksyonov mengatakan sekitar 40 persen dari warga Tatar Krimea ambil bagian dalam referendum.

Penduduk Krimea terdiri dari 58 persen etnik Rusia. Sisanya adalah etnik Ukraina (24 persen), dan Tatar yang merupakan penduduk asli Krimea.

Referendum ini dianggap ilegal oleh pemerintah pusat Ukraina di Kiev dan negara-negara Barat, termasuk Kanada dan Jepang.

Putin dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama memang telah berbicara melalui sambungan telepon dan sepakat mencari cara guna menyelesaikan krisis Ukraina meskipun ada pertentangan-pertentangan.

Namun tak lama setelah tempat pemungutan suara ditutup, AS kembali menyampaikan ancamannya untuk menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Sekretaris pers Obama, Jay Carney, mengatakan bahwa Gedung Putih tidak akan mengakui hasil referendum di Krimea dan menggambarkan tindakan Rusia sebagai "berbahaya dan menimbulkan ketidakstabilan".

Sementara Uni Eropa juga mengatakan pemungutan suara adalah tidak sah—inkonstitusional—dan hasilnya tidak akan diakui. "Kami tidak mengakui baik referendum Krimea maupun hasilnya. Kami menyerukan pada Rusia untuk memasuki dialog dengan Ukraina dan menyelesaikan krisis berdasarkan hukum internasional," kata Perdana Menteri Inggris David Cameron.