Pelangi dan Purnama di Gunungsitoli

By , Selasa, 18 Maret 2014 | 19:30 WIB
()

Bila tak punya waktu banyak untuk menjelajah keragaman sosial budaya seantero Nias, menelusuri pelosok Kota Gunungsitoli cukup bisa mewakili. Termasuk desa adat Tumori di perbukitan yang tak kalah memukau dibandingkan dengan desa adat lainnya.

Saya langsung teringat Taman Mini Indonesia Indah begitu memasuki kompleks Museum Pusaka Nias. Menempati lahan luas tepi laut dirimbuni pohon, dikonsep sebagai museum hidup. Ada satu gedung yang khusus diperuntukkan sebagai museum–tempat menyimpan dan memperagakan koleksi. Bangunan yang dirancang untuk daerah tropis, luas, langit-langit tinggi, terang untuk menaungi koleksi yang dikelola dengan baik. Teratur dan bersih terawat.

Pernik dari logam mulia dipajang dalam lemari-lemari kaca–mahkota, anting, kalung, gelang, gelang kaki, penutup pusar, hiasan dahi–dari Nias Tengah, Selatan, Nias Utara yang tak sempat saya kunjungi. Termasuk, foto-foto kuno bangsawan hingga kita tahu bagaimana perhiasan emas itu dikenakan. Saya terpaku pada tologu (pedang) dari Bawodobara, Nias Selatan yang dihiasi taring dan kuku hariamau dan babi hutan, dan kara zi’ugu mbanu (fosil gigi hiu).

Maket rumah adat disengaja beratap terbuka agar detail dalam teramati dengan baik, mewakili Nias Barat, Tengah, Selatan, dan Omo Hada Tulumbaho (Nias Utara.). Saya senang ada koleksi alat musik yang tak sempat saya nikmati langsung di desa adat:aramba (gong), rafa’i, tamburu, gondra (jenis-jenis tambur berlilit rotan berukir patung manusia).

Saat saya melenggang di halaman, salah satu rumah adat dalam ukuran sebenarnya sedang diganti atap rumbianya. Bila ada pemilihan museum Indonesia terbaik, saya tak ragukan lagi bahwa museum yang dirintis Pastor Johannes M Hammerle ini mesti masuk sebagai nominasi.

Koleksi Museum Pusaka Nias (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler).

Malam pertama di Gunungsitoli, saya dan fotografer Hafidz Novalsyah dibonceng pemandu kami, Vicky dan rekannya, Yanto. Kami dibawa ke puncak Gunungsitoli di Hili Hati dan Hili Bintang, untuk mengamati bentang bintang di langit tanpa gangguan gedung tinggi yang saat itu bersaing dengan bulan yang sedang bulat sempurna, dan menikmati kerlip lampu seputar pelabuhan. Sempurna bila bersama si pengisi hati, seperti harapan nama-namanya.

Jumat malam itu kami melewati sejumlah rumah yang sedang menggelar hajat pernikahan, dengan papan bunga terpajang sebagai “pengumuman.” Banyak rumah warga masih membuka pintu jelang tengah malam. “Kalau belum tidur, orang Nias takkan menutup pintu dan jendela, agar tak dikira sombong. Biasanya bertamu ke tetangga. Bila tetangga sedang ada tamu pun biasa bergabung,” tutur Yanto.

Mencari pengisi perut di Gunungsitoli justru lebih mudah pasca tsunami Desember 2004 dan gempa besar Maret 2005. Pekerja kemanusiaan dan pendatang menggeliatkan ekonomi dengan pemenuhan kebutuhan dasar mereka: rumah makan.

“Dulu hanya ada rumah makan chinese food dan lapo penyedia babi panggang karo,” ungkap Vicky. Sepanjang siang - malam dalam dua hari di Gunungsitoli, wisata boga saya menyambar udang goreng dan nasi goreng sedap di Rumah Makan Herman Food. Jl Diponegoro 169, sate padang yang terbuat dari ayam alih-alih lidah sapi, Pecel Lele & Pecel Ayam Bang Martin yang mengingatkan Jakarta dengan sajian nasi uduk, tahu tempe, rujak, juice segar, es rumput laut. Plus jajan mi sop bakso berupa sop plus bihun dan bakso ayam. Sejumlah kios kadang menawarkan Tuo ni faro (tuak). Bologo dedeme, mangaitae? Maaf, mau makan?

Selain Pendopo Kabupaten dengan burung beo nias sebagai icon, yang menarik perhatian saya adalah gereja-gereja. Arsitekturnya ada yang langsung mengajak berhenti begitu melintasinya. Seperti Gereja Santa Maria di Jl Karet. Bentuk atapnya seperti lapisan biskuit membawahi gedung putih oval yang kokoh. Vicky mengajak menengok Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Jl WR Supratman dengan konstruksi baja, sekilas mirip pabrik atau gudang. Kokoh, selamat dari gempa.

Dalam catatan Pastor Johannes M Hammerle yang telah menyusun sedikitnya 8 buku tentang Nias, termasuk yang berbahasa Nias, Katholik dikenalkan di Nias lewat: misionaris Perancis, P Vallon dan P Berrard yang datang dan menetap di Desa Lasara, Gunungsitoli pada 1832. Sementara Pendeta Denninger datang pada 1865 membawa Kristen Protestan. Kami menengok gereja yang menabalkan namanya yang sedang diperbaiki di Jl Diponegoro 279, Kelurahan Ilir, Tohia, Gunungsitoli.

Pelangi indah dan bulan purnama yang menyambut kami selama dua hari di Gunungsitoli seolah memberi gambaran akan keselarasan keseharian. Ya’ahowu! Semoga Anda diberkati. Saohagele. Terima kasih.