Masih Ada Kelemahan Mendasar SVLK yang Harus Diperbaiki

By , Selasa, 18 Maret 2014 | 22:32 WIB

Evaluasi independen masyarakat sipil ungkap sejumlah kelemahan mendasar SVLK, sehingga kayu ilegal dan tidak lestari tersertifikasi.

Hari Selasa (18/3) di Jakarta, Koalisi LSM meminta Pemerintah Indonesia memperbaiki secara mendasar sistem sertifikasi pengusahaan hutan atau lebih dikenal dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Investigasi mendalam mengenai implementasi SVLK menemukan sejumlah kelemahan, baik pada regulasi, unit kelola pengusahaan hutan, dan bahkan kepada lembaga sertifikasi yang diakreditasi pemerintah.

Pada tanggal 27 Februari 2014, Parlemen Uni Eropa secara aklamasi meratifikasi Perjanjian Kemitraan Indonesia – Uni Eropa tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT VPA). Sebagaimana dilansir berbagai media, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan segera meratifikasi perjanjian tersebut.

Perjanjian ini secara mendasar menempatkan sistem sertifikasi kayu Indonesia, yang biasa dikenal dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai salah satu instrumen penting untuk memastikan kayu-kayu Indonesia yang dipasarkan di Eropa adalah kayu yang bebas dari dari pelanggaran hukum serta berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan.

Namun demikian, Koalisi Anti Mafia Hutan menemukan sejumlah kelemahan mendasar SVLK baik terhadap regulasi, implementasi, hingga lembaga sertifikasinya. Regulasi yang diubah hampir setiap tahun justru merendahkan kualitas kriteria dan indikator kayu yang memperoleh sertifikat, sehingga kayu yang berasal dari perusahaan tersangkut kasus hukum dan dari kawasan yang belum dilegal pun beroleh sertifikat. Di tingkat tapak, investigasi Koalisi menemukan bahwa perusahaan yang dikelola secara serampangan pun bisa beroleh sertifikat.

Perlu ditekankan bahwa sedari awal SVLK dimaksudkan bukan sekedar tentang tata niaga kayu, tapi sekaligus menjadi entry perbaikan tata kelola kehutanan. 

“Tapi, temuan kami ini menyajikan bahwa SVLK justru sedang dilemahkan sehingga dikhawatirkan malah mendukung deforestasi dan pelanggaran HAM,” demikian Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan WALHI.

Koalisi juga menemukan bahwa SVLK dapat diberikan kepada kayu yang penebangannya tidak sepenuhnya memenuhi peraturan dan regulasi pemerintah. Selain itu, selain tiadanya proses lacak balak hingga ke titik tonggak, cakupan standar dan kriteria SVLK ternyata tidak mencakup peraturan di luar regulasi kehutanan.

Tak hanya itu, praktik korupsi dalam perizinan pun tidak dijadikan obyek verifikasi SVLK plus tidak ada verifikasi untuk memastikan izin tersebut tidak berkonflik dan melanggar hak hukum adat masyarakat.

Pelemahan mendasar SVLK ini potensial mengganggu kredibilitas FLEGT VPA yang telah diproses sekitar satu dekade. Niat baik yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia maupun Komisi Eropa untuk melestarikan hutan serta menyejahterakan masyarakat melalui kriteria dan indikator yang memadai bisa jadi akan sia-sia karena pelemahan sistematis sistem sertifikasi SVLK.  

“Investigasi yang dilakukan sekitar setengah tahun ini menunjukkan fakta tak terbantah bahwa sertifikat SVLK belum sepenuhnya menjamin bahwa kayu dari penebangan ilegal dan tidak lestari tidak diekspor ke Uni Eropa.

Hal ini harus diperbaiki agar Uni Eropa dan perusahaan-perusahaan negara lain tak justru mengimpor produk kayu yang tidak sepenuhnya terjamin legal dan lestari,” kata Nursamsu dari WWF-Indonesia.