Pola Pikir Cenderung Percaya tentang Konspirasi

By , Jumat, 21 Maret 2014 | 14:29 WIB

Para ahli psikologi mengatakan, mindset kita cenderung menarik kesimpulan berbau teori konspirasi daripada kecelakaan (ketidaksengajaan), dalam menjelaskan suatu kejadian musibah. 

Tatkala ada kekurangan data yang akurat dan faktual untuk suatu insiden yang cukup besar serta menyita perhatian publik, teori konspirasi segera cepat sekali mengisi ruang kosong itu.

Mengapa kita lebih menyukai konspirasi?

Dari berbagai studi yang pernah dilakukan, menurut psikolog, alasan utama terbentuknya 'conspiratorial mindset' adalah karena kita semua individu yang memiliki bias. Tiap terjadi musibah, yang akan terlintas di benak kita: ini adalah produk yang disengaja oleh seseorang.

Lantas, kita menerima teori konspirasi pertama yang "disodorkan".

Apalagi saat kejadian itu memiliki konsekuensi penting. Mungkin kita jadi melihatnya sebagai suatu efek (dampak) tertentu, dan memikirkan teori konspirasi di balik kejadian itu. Tapi masih banyak faktor lain yang mungkin bisa menjadi alasan, dan ini membutuhkan penelitian lanjutan mendalam.

Dalam kasus hilangnya pesawat Malaysia Airlines nomor penerbangan MH370, spekulasi kita berkisar pada skenario-skenario konspirasi yang relatif logis (kemungkinan pesawat telah dibajak ataupun meledak karena bom) sampai yang di luar akal (pesawat itu diculik makhluk asing atau dibuat tak terlihat dengan teknologi canggih).

Tentulah ini bukan berarti mengatakan semua teori konspirasi tersebut salah. Boleh dan sah saja dipertimbangkan. Namun pada intinya, tidak ada seorang pun yang punya informasi (penjelasan) cukup untuk memastikan. Dan karena itulah, kita tidak menutup mata akan kemungkinan penjelasan-penjelasan yang masuk akal pula.

Semoga pesawat ini dapat ditemukan dan seluruh misteri terjawab.