Kata "Citarum" berasal dari dua kata, yaitu Ci dan Tarum. Ci atau dalam bahasa Sunda 'cai', berarti air. Sedangkan Tarum merupakan jenis tanaman yang menghasilkan warna ungu (nila) yang digunakan sebagai bahan pencelup alami untuk pewarna dasar pada kain tradisional.
Menurut catatan sejarah, pada abad ke-5, bermula dari Jayashingawarman membangun sebuah dusun kecil di tepi Sungai Citarum, lambat laun berkembanglah sebuah negara Hindu besar: Kerajaan Taruma.
Sekarang ini Citarum sebagai sungai terpanjang di Provinsi Jawa Barat memiliki sederet fungsi penting bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat wilayah sekitar, di antaranya sebagai sumber air baku, irigasi pertanian, perikanan, dan pembangkit tenaga listrik pasokan Pulau Jawa dan Bali.
Baca juga: Cikal Bakal Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Pemersatu Bangsa
Tapi ternyata sejak dahulu pun Citarum sudah memainkan peranan penting bagi kehidupan sosial masyarakat Jawa Barat. Citarum memasok air bagi kegiatan pertanian masyarakat Tarumanagara, dan juga merupakan prasarana transportasi.
Sejak runtuhnya Taruma, Citarum menjadi batas alami wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma, sebelum akhirnya bersatu kembali dengan nama Kerajaan Sunda.
Hal ini berulang lagi sekitar abad 15, Sungai Citarum sebagai batas administratif antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
Sedangkan di zaman pemerintahan Belanda, Citarum berperan jadi penghubung antara daerah pedalaman dan pesisir untuk membawa hasil pertanian dan perdagangan.
Meskipun sungai Citarum pada masa dahulu masih terjaga keasrian dan kelestariannya, tetapi sejarah mencatat bahwa pada masa itu Citarum sudah langganan mengalami banjir di beberapa daerahnya, terutama pada musim hujan. (Mengapa? Baca di: Topografi Citarum)
Karena itulah pada tahun 1810, Bupati Bandung saat itu, R.A Wiranatakusuma II memindahkan ibu kota Bandung dari daerah Krapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Bandung tengah (pusat Kota Bandung sekarang).