Lezat Berpadu Sehat

By , Kamis, 3 April 2014 | 13:31 WIB

Kunci lezat dan sehat pada makanan organik tergantung pada dua hal, yakni kesegaran alami bahan baku dan cara mengolah.

Disebut produk organik bila bibit, penumbuhan dan pemeliharaannya tak memakai bahan kimiawi seperti bibit hasil rekayasa genetika, zat pengatur tumbuh, pupuk dan pestisida kimia. Pakan pun alami.

Untuk memastikan kemurnian bahan organik, pemasok harus mengantongi sertifikat organik, juga dilakukan peninjauan langsung ke lahan pertanian dan peternakan pemasok.

Menu organik bukan hanya berbahan baku tanpa bahan kimia, tapi juga cara mengolah dan alat masak yang digunakan terpilih.

Mengolah bahan jadi menu organik berarti bebas penyedap MSG, pengawet, pemutih, pelembut, pengembang. Misalnya, dory yang sudah gurih alami, jadi tak perlu banyak garam, cukup dibumbui aminos, pengganti kecap asin yang diolah dari kedelai.

Santan bukan dari perasan kelapa parut tapi dari susu kedelai dan rempah tradisional. Alih-alih MSG, digunakan penyedap dari olahan jamur, rumput laut dan real salt (garam laut tanpa pemutih). Minyak pun dari ekstrak bekatul (kulit ari) beras. Tak perlu menabukan emping. Segalanya kalau berlebihan tak baik. Kalau beberapa keping saja, tak mengapa.

Peralatan memasak harus aman bagi makanan. Jangan di wajan dan panci berlapis teflon. Pelapis antilengket ini sudah dilarang di Amerika Serikat. Juga disarankan tak memakai microwave yang bisa merusak gizi.

Pada dasarnya, makanan tak boleh diolah hingga terlalu matang hingga gizinya hilang. Misalnya, saat menumis sayuran tak perlu sampai layu, tapi diaduk sebentar saja hingga ketika dikunyah masih renyah.

Pangan dan menu berlabel organik terasa lebih mahal. Tapi lebih baik investasi menjaga olah dan pola makan sehat daripada mengeluarkan biaya lebih mahal untuk mengobati penyakit.

Indonesia juga memiliki banyak jenis salad tradisional. Gado-gado, karedok, pecel, lotek, terancam, urap, anyang—untuk menyebut beberapa. Jadi, mengapa harus malas menyantap sayur-mayur?

*Artikel pernah dipublikasikan dalam National Geographic Traveler, Maret 2012