Wilayah open access di cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu perlu "tuan" agar lebih terkelola dan mampu menjadi benteng bagi zona inti. Dalam kasus kebakaran hutan Riau Februari - Maret 2014, kawasan ini paling banyak mengalami kebakaran.
Wilayah open access sebenarnya adalah kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri dan Hak Pengusaha Hutan (HPH). Namun, karena izin sudah habis dan tidak diperbarui, wilayah itu menjadi tak terkelola, seolah tak "bertuan".
Yohanes Purwanto, Direktur Eksekutif Man and the Biosphere UNESCO-Indonesia, dalam diskusi media di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (3/4), mengungkapkan, selama ini, tak adanya pengelola menyebabkan kawasan ini menjadi rebutan. "Jadi bancakan," katanya.
Sejumlah oknum merambah wilayah open access yang luasnya sekitar 20.000 hektar. Aksi perambahan memicu kebakaran dan kabut asap di Riau tahun 2014 yang total kerugiannya melebihi bencana tsunami Aceh tahun 2004.
Dalam diskusi media yang berlangsung di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Purwanto mengungkapkan, "Wilayah open access ini perlu ada yang mengelola sehingga ada pihak yang bertanggung jawab."
Pengelolaan kawasan open access menjadi penting karena kawasan ini menjadi pelindung bagi zona inti cagar alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Zona inti menjadi tempat hidup beragam flora fauna.
Purwanto mengatakan, "Selama ini, open access menjadi pintu bagi perambah untuk ke zona inti." Perambahan hingga zona inti terbukti memicu titik api dan kebakaran di zona tersebut. Kasus kebakaran di zona inti sudah terjadi pada tahun 2013 dan 2014.
Ketika wilayah open access tak bertuan, pengelolaan sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, selama ini pengelolaan oleh pemerintah daerah masih kurang maksimal. Purwanto menuturkan, pemerintah perlu menunjuk pihak yang bertanggung jawab.
Kawasan open access sebenarnya juga berpotensi untuk dijadikan kawasan restorasi ekosistem. Namun, hingga saat ini pemerintah belum memberikan rekomendasi terhadap permohonan untuk menjadikan kawasan itu sebagai area restorasi ekosistem.