Cobalah melacak kata ‘Riau’ dan ‘hutan’ di Google. Pasti yang bermunculan bukan hal-hal yang menunjukkan pujian mengenai keadaan alamnya. Mayoritas adalah berita mengenai masalah-masalah degradasi hutan, baik pembalakan liar, kebakaran hutan, maupun konversi lahan. Para pelakunya beragam dari individu biasa hingga korporat.
Di balik beragam kabar miring mengenai masa depan lingkungan hidup di Riau, saya sempat mengunjungi sebuah sudut yang alamnya masih cantik dan mengandung harapan akan kelestariannya.
Terletak di jantung tasik kawasan gambut Sungai Siak Kecil di selatan hingga kawasan pantai Bukit Batu di utara.
Riwayat tempat ini agak unik karena bermula dari dua suaka margasatwa, yaitu Giam Siak Kecil seluas 84.000 hektare di selatan dan Suaka Margasatwa Bukit Batu seluas 21.500 hektare.
Keduanya terletak di kawasan yang sulit dijangkau dan terpisah di tengah-tengah, oleh kawasan hutan tanaman industri yang sudah ada sejak tahun 1992.
Giam Siak Kecil adalah salah satu dari 8 kawasan hutan tersisa di Riau dalam kondisi relatif baik. Setidaknya sampai pada pengujung tahun 2009.
Dari hasil studi, kawasan hutan produksi yang menjadi koridor antara dua suaka margasatwa itu seluas 72.255 hektare—lebih luas dari negara Singapura, 69.000 hektare—kemudian disatukan dan diusulkan menjadi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil.
Pariwisata yang berkelanjutan adalah salah satu pilar yang diandalkan dalam mengelola cagar biosfer, selain cara hidup yang selaras dengan alam dari komunitas yang berdiam dalam wilayah itu. Dan kawasan ini menjanjikan sudut-sudut terbaiknya untuk dijelajahi.
Di ujung lain dari kawasan Giam Siak Kecil, tepatnya di wilayah Duri ada juga beberapa tasik, seperti Tasik Serai dan Tasik Bitung. Walau secara mendasar keadaan alamnya sama, tetapi lanskapnya berbeda.
Bentangan tasiknya terlihat lebih jelas sehingga suasanan pelesiran lebih terasa. Bentuk perahunya pun mirip-mirip dengan perahu di Sungai Mekong, Vietnam—dengan dua dayung yang dikayuh sambil berdiri.