Danau Serantangan, Potret Perusakan Lingkungan Bermotif Ekonomi

By , Minggu, 6 April 2014 | 15:30 WIB

Suara gemuruh mesin penyedot emas sahut menyahut menggema diiringi asap hitam yang keluar dari lubang pembuangan. Air keruh pun tampak mengalir keluar dari pipa yang dialirkan ke wadah penyaringan yang sudah dialasi karpet berbahan kain tebal. Perlahan para pekerja berbagi tugas, ada yang memberi aba-aba, ada yang memegang pipa, dan ada juga yang menjaga di wadah penyaring.Air yang bercampur lumpur dan pasir itu pun kemudian dialirkan ke wadah penyaring, berharap campuran tersebut membawa kandungan emas. Panas terik bahkan hujan tak mereka hiraukan. Sebagian kulit para pekerja tersebut terlihat kehitaman, akibat bergumul dengan air dan panas terik matahari.Dari wadah penyaringan, karpet tersebut kemudian dipindahkan ke dalam kolam buatan dari terpal berukuran 3x2 meter. Di kolam itulah mereka mendulang kembali pasir dan lumpur yang disedot, berharap hasil yang menggembirakan. Begitulah kiranya gambaran aktivitas para pekerja tambang emas di Danau Serantangan, Desa Sagatani yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Singkawang, Kalimantan Barat.Seribu pekerjaMulai dari pagi hingga sore para penambang liar bekerja, pindah dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain, untuk mendapatkan butiran emas. Pekerjaan yang penuh risiko ini pun mereka jalani demi mendapatkan rupiah. Jumlah mereka pun tidak bisa dibilang sedikit. Setidaknya ada ratusan set mesin yang biasa disebut 'dompeng' untuk menyedot emas beroperasi di Danau Serantangan, dengan jumlah pekerja mencapai lebih dari seribu orang.Setiap satu set mesin dikerjakan oleh enam hingga tujuh orang pekerja. Tidak mudah untuk sampai ke lokasi penambangan liar ini. Satu-satunya cara yang ditempuh menuju danau hanya menggunakan perahu motor. Tidak ada trasportasi lain yang digunakan dalam kawasan penambangan. Luas lokasi yang mencapai 400 hektar itu pun rusak dan tercemar akibat aktivitas penambangan emas liar tersebut.Bahkan menurut salah satu bos 'dompeng' atau pemilik mesin, areal tersebut sudah dibuka untuk pertambangan emas ilegal sejak 20 tahun silam. Saat itu menurutnya hanya warga sekitar saja yang mencari emas di situ, namun lama kelamaan semakin banyak orang luar Singkawang yang mengadu nasib mencari emas di Danau Serantangan.TercemarKawasan yang semula hutan pun berubah menjadi hamparan padang pasir dan kolam raksasa. Air danau yang dulunya jernih juga ikut tercemar akibat aktivitas tersebut. Sejauh ini, para pekerja menyadari aktivitas yang mereka lakukan adalah ilegal, karena melakukan aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang dikelola atau dimiliki bos mereka secara perorangan di lokasi ini.Hidup para pekerja ini bergantung dari hasil emas yang diperoleh, yang akan digunakan untuk berbagai kebutuhan hidup mereka. Seorang pekerja yang tidak mau disebutkan namanya bercerita, mereka biasanya menggunakan sistem pembagian 70:30 dari hasil yang diperoleh. Namun ada juga yang menggunakan sistem kerja harian.Para pekerja ini kebanyakan berasal dari luar daerah, yang mengadu nasib bekerja menjadi pekerja dompeng, sebutan bagi mereka yang bekerja mencari emas dengan cara ini. Namun rata-rata dari mereka menjadikan pekerjaan ini sebagai batu loncatan mendapatkan modal untuk bekerja di tempat lain. Di antara para pekerja tersebut, mereka ada pula yang membawa serta istri dan anaknya selama mereka berada di lokasi penambangan. Mereka tinggal di pondok-pondok kecil atau kamp yang dibangun untuk tempat mereka beristirahat.Tak hanya pondok tempat berteduh, di lokasi ini juga tersedia beberapa kantin yang memenuhi kebutuhan para penambang, mulai dari kebutuhan pribadi, sembako, hingga minuman beralkohol. Bahkan ada tempat hiburan jenis karaoke dan warung remang di lokasi tersebut. Suasana di lokasi ini pun mirip perkampungan, ada canda tawa serta harapan yang terpancar dari raut wajah mereka.Untuk mandi dan aktivitas lainnya, mereka juga menggunakan air danau yang sudah tercemar limbah. Bahkan para anak-anak pun asik bermain dan mandi di lokasi penambangan tersebut. Akses yang jauh dengan desa dan warga sekitar pun membuat para anak-anak ini tidak bisa bersekolah. Sungguh sangat disayangkan, kondisi seperti ini sepertinya terabaikan.Penegakkan hukumDari segi penegakkan hukum, Kapolres Singkawang AKBP Andreas Widihandoko menegaskan bahwa lokasi penambangan tersebut harus ditertibkan, namun harus terkontribusi dengan pihak lainnya termasuk pemerintah daerah. “Penertiban itu harus komprehensif, pemda juga harus ikut turun ke lapangan. Antara warga sekitar, pemerintah daerah, tokoh masyarakat maupun tokoh agama juga harus komprehensif untuk mewujudkan penertiban itu,” ujar Widihandoko, Jumat (4/4) lalu.Widihandoko juga mengakui, bahwa untuk penertiban di Danau Serantangan belum dilakukan, karena selain medan yang sulit dijangkau juga keterbatasan personel. Dari segi jumlah pekerja tambang yang mencapai seribu orang lebih, dikhawatirkan akan terjadi konflik sehingga pihak kepolisian masih mempertimbangkan penertiban di kawasan tersebut. “Ini kembali lagi kepada kesejahteraan masyarakat, lapangan pekerjaan harus diperluas, penegakkan hukum juga harus dipertegas,” tegasnya.Kerusakan lingkunganTerkait kerusakan lingkungan, Kalimantan Regional Leader WWF-Indonesia, Hermayani Putera mengatakan, kondisi ini merupakan potret buruknya tata kelola sumberdaya alam, mulai dari ketidakjelasan tata guna lahan, dan kepastian lahan di sekitar lokasi penambangan. Selain itu, absennya pemerintah dalam menjalankan upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi gambaran buruk atas strategi pembangunan ekonomi wilayah.Hermayani juga menegaskan, biasanya warga setempat sudah tidak berdaya karena didominasi oleh warga dari luar. “Ini sangat umum terjadi di banyak lokasi PETI seperti di Danau Serantangan ini” ujar Hermayani. “Umumnya memang seperti itu, supaya dominasi dalam struktur ekonomi di lokasi tambang tetap dipegang oleh pemilik modal. Biasanya para pekerja yang minim tersebut dibekali kebutuhan logistik untuk jangka waktu tertentu ketika mereka mulai bekerja,” katanya.