Lima tahun lalu, setiap kali menyambangi salah satu bangunan di bagian timur Komisi Pemilihan Umum, di bilangan Jalan Imam Bonjol, Jakarta, sesekali mata saya otomatis mengarah pada sebuah pigura. Biasa saja pigura itu, berukuran sekitar 40x70 sentimeter.
Di balik kaca pigura, selembar kertas dengan dominasi warna coklat, baris-baris panjang puisi tertera. "Ketika Indonesia Dihormati Dunia" adalah judul larik-larik puisi itu.
Puisi itu ditulis Taufiq Ismail, lalu dibacakan dalam deklarasi bersama Pemilu Damai menjelang pelaksanaan Pemilu 2004. Sesudahnya, puisi itu terpajang dalam pigura biasa tersebut, di ruang Media Center KPU, setidaknya sampai akhir semua tahapan Pemilu 2009.
Entah mengapa, berkali-kali saya menatap pigura biasa ini tetap tak bosan. Terbayang rasanya mengalami masa ketika seluruh mata dunia menatap Indonesia dengan penuh penghormatan. Bukan karena kekayaan alam, bukan karena temuan teknologi paling mutakhir, melainkan karena pemilu yang sangat demokratis.
Sesudahnya, memang hanya menyisakan sebuah tanya menggantung. Apakah rasa itu akan bisa datang lagi membuncah di dada, menggairahkan pemikiran-pemikiran terbaik anak bangsa, memunculkan orang-orang terbaik dengan kinerja, visi, etos, langkah yang benar-benar mendatangkan penghormatan dunia?
Meski mungkin sekarang tak lagi ada banyak daerah diwarnai pemilu berdarah-darah seperti yang terpotret juga di puisi ini, tetapi sogok-menyogok dan aroma saling tak percaya mengental di langit Nusantara. Tak hanya selama pemilu, tetapi atas segala hal yang berbau politik di negeri ini.
Seolah, politik adalah bagian lain dari bumi Indonesia, yang hanya orang dengan kriteria tertentu yang perlu menjamahnya. Tak ada lagi cerita tentang pidato politik menggelora seorang pemuda umur 20-an, semacam "Indonesia Menggugat".
Tak lahir lagi ungkapan-ungkapan "kemerdekaan adalah jembatan emas" dengan tugas dan amanat yang harus diwujudkan sesudah jembatan tersebut diseberangi. Politik pada hari ini, seolah hanya adu retorika, saling cerca, janji yang pasti tak akan terpenuhi, dan yang jelas: busuk.
Orang baik, jangan lupakan sejarah
Barangkali ini hanya semacam kerinduan dari generasi yang tak pernah melihat langsung rasanya mendapat penghargaan dunia atas proses demokrasi di negara yang sampai abad 21 ini masih saja masuk kategori negara berkembang. Mungkin ini hanya upaya patah-patah untuk belajar mengunyah ajaran "jangan pernah lupakan sejarah" dari Bapak Pendiri Bangsa, Soekarno.
Bisa jadi pula, menyitir ungkapan yang seringkali dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, sekadar harapan masih ada orang-orang baik yang saling tolong-menolong untuk mewujudkan kebaikan dan memunculkan orang-orang baik sebagai pemimpin. Atau mungkin dalam bahasa saya sekadar menghibur hati sendiri, selama masih ada orang-orang baik yang konsisten berbuat baik maka harapan baik akan selalu ada.
Ini adalah larik-larik puisi tersebut:
Ketika Indonesia Dihormati Dunia-Taufiq Ismail-
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewatDengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatatPeristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh limaKetika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdekaItulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsaPemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adilJujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakanWaktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasiPesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkanPesta yang bermakna kegembiraan bersamaDemokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda
Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkanPada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkanPada waktu itu tidak ada satu nyawa melayangPada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakarPada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobarPada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokanPada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia dihormati duniaSebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyumanSebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopanSebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan
Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutanUntuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuranRakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkanRasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkanKemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhanAnak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopanTapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapanganPawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturanDi kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibaranMeneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan sloganBerubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasanBatu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesananAntara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskanRindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakanMalu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.
Adakah kerinduan yang sama itu ada di dada Anda? Semoga.