Pelanggaran HAM Berat di Rwanda, Refleksi bagi Indonesia

By , Kamis, 10 April 2014 | 19:43 WIB

Indonesia untuk pertama kalinya memperingati peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia dalam sejarah peradaban modern, yakni pembantaian massal atau genosida di Rwanda.

Untuk menandai 20 tahun genosida Rwanda terjadi, diadakan sebuah seminar di Jakarta, Selasa (8/4) lalu. Seminar itu diselenggarkan Pusat Informasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC) Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, dan dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Artani Wardhani.

Genosida yang terjadi selama 100 hari pada tahun 1994 di Rwanda menewaskan lebih dari 800.000 orang. Pelakunya ialah kelompok ekstremis Hutu. Para korban umumnya dari etnis minoritas Tutsi dan Hutu moderat. Namun, kelompok HAM internasional yakin jumlah korban tewas jauh lebih banyak, mencapai 1 juta orang.

Berdampak luas

Direktur UNIC Jakarta Michele Zaccheo, yang menjadi moderator seminar, sempat menyampaikan pesan dari Sekjen PBB Ban Ki-moon pada peringatan di Kigali, ibu kota Rwanda.

Menurut Zaccheo, pembantaian massal di Rwanda berdampak luas terhadap rakyat jelata yang tidak berdosa dan juga di wilayah yang lebih luas di dunia.

"Dunia kini belum bisa mengatasi perpecahan, ketidakpedulian, dan kebutaan moral. Para pemimpin dan panglima perang sedang menghadapi konsekuensi hukum atas kejahatan mereka," ujarnya mengutip Ban.

Azhar mengatakan, ada banyak pelajaran penting yang bisa diambil dari pahitnya pembantaian massal di Rwanda. Khusus bagi Indonesia, meski "negara kita sukses berdemokrasi, tetapi gagal dalam hal penegakan HAM".

Kini, lanjutnya, sedang tumbuh ekstremisme kelompok tertentu di Indonesia dan ada pembiaran oleh aparatur hukum.

Ia prihatin dengan penegakan hukum terhadap pelanggar HAM di Indonesia. Bahkan, para tokoh yang dinilai memiliki catatan kelam terkait kekerasan (kejahatan) kemanusiaan justru sekarang tampil ke permukaan.

Ita Fatia Nadia, aktivis yang mengoordinasi pelanggaran kekerasan terhadap perempuan di akhir Order Baru, menyatakan, kasus Rwanda terjadi di Indonesia. Pembantaian tahun 1965 terhadap orang-orang yang dituding PKI jauh lebih hebat dari Rwanda.

Ia juga mengamini, genosida di Rwanda merupakan bagian terkelam sejarah peradaban modern.