Perjalanan dadakan ternyata menyenangkan walau mendebarkan. Untuk saya, bepergian ke Thailand, pada Desember 2002, hanya berdua teman perempuan, adalah sebuah pengalaman ala backpacker di negeri orang.
Melintasi 651 km Bangkok-Suratthani di atas kereta malam ekonomi menuju Koh Samui, pulau wisata yang mengingatkan pada Bali.
Kami belum pulih dari rasa tergopoh-gopoh ketika tiba di Stasiun Hua Lamphong selepas senja. Ulang-alik kami mengambil taksi menembus kemacetan parah kota Bangkok setelah seharian berburu foto di Ayutthaya, reruntuhan ibukota pertama Thailand, 86 km utara Bangkok.
Kereta Express itu abu-abu bersahaja seperti KRL Jabotabek. Tapi interiornya bersih sekali. Dua pasang tempat duduk berhadapan dengan meja lipat dan bilik pemisah dari tempat duduk berikutnya. Sebilik dengan pasangan muda dan balita mereka—amat murah senyum dan ramah seperti umumnya warga Thailand—membuat saya jauh lebih nyaman.
Tak lama usai keberangkatan pada pukul 19.30, percakapan dalam bahasa Inggris patah-patah itu terhenti. Dua petugas kereta mengubah tempat duduk jadi tempat tidur susun. Bagian kami di atas. Tirai hijau menjamin privasi. Saya dan Eka sempat bicara kecil, amankah isi ransel? Tapi rasa lelah di seprai bersih itu melelapkan. Kami terbangun selepas fajar.
Kami betul-betul bangun ketika petugas mengembalikan lagi dipan kami jadi bangku. Rasanya, kami mendapat lebih dari tiket 248 bath (Rp 85.000) untuk 2nd-class sleeper yang kami bayarkan. Perasaan was-was justru sempat muncul di luar stasiun kereta di Phun Phin, 14 km dari pusat kota Suratthani.
Berkereta api Bangkok-Suratthani bisa memilih 1st class sleeper, 2nd class sleeper air-con, 2nd class seats dan 3rd class seats untuk perjalanan malam. Kereta pagi Diesel Railcar dengan 2nd class air-con termasuk makan. Walau memiliki kota tua Chaiya, bagian kerajaan Sriwijaya, Suratthani umumnya hanya disinggahi sebelum ke Koh Samui, pulau wisata utama di selatan Thailand.