Di tengah abu vulkanik yang beterbangan di pinggir jalan Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, beberapa waktu lalu, Suhada (54) memilah benih bawang daun basah dari dalam karung plastik kumal. Dibantu tiga anak buahnya, dia menempatkan benih di tiang jemur setinggi 10 meter yang dibagi dalam tiga tingkat.
"Butuh enam jam menjemur benih basah itu sebelum siap dikirim ke Mojokerto, Jawa Timur. "Biasanya sebagian besar benih ini dipakai sendiri. Namun, karena abu di kebun masih tebal, saya pilih menjulnya," kata Suhada yang harus mengeluarkan biaya tambahan Rp50.000 per hari untuk membayar ongkos bagi tiga anak buahnya.
Hanya menjual benih seharga Rp15.000 per kilogram jelas membuat Suhada merugi. Untuk kebutuhan 1 hektare lahan, biasanya dia menjual 700 kilogram benih. Setelah dikurangi biaya produksi, dia bisa mendapatkan Rp8 juta - Rp9 juta dalam 2,5 bulan masa pembenihan. Jumlah itu jauh lebih kecil ketimbang menanam bawang daun sendiri.
"Abu terlalu tebal membuat tanah menjadi panas, tapi lihat saja, kalau sudah kembali normal, ada sekitar 25 mobil berangkat dari sini ke Mojokerto. Satu mobil bisa membawa 1 ton bawang daun," ujarnya.
Supriyanto, petani cabai dari Desa Siman, juga merasakan pahitnya abu vulkanik Kelud. Batang tanaman cabainya mengering dan daun menjadi cokelat. Kebunnya hanya berjarak 3 kilometer dari pundak Kelud. Tahun ini, guyuran abu vulkanik adalah pukulan kedua baginya setelah serangan hama yang membuatnya rugi pada awal tahun.
Meskipun demikian, ia belajar berbesar hati. "Kami harus bersyukur. Letusan Kelud hanya mematikan tanaman, tapi ada masa depan lebih cerah nantinya," kata Supriyanto.
Kepala Badan Geologi Surono mengatakan, letusan demi letusan yang dimuntahkan Kelud sejatinya membawa banyak pelajaran. Perlahan muncul pemahaman masyarakat tentang pentingnya hidup bersama alam. Mencoba menentang alam menjadi tindakan sia-sia.
(Baca dalam: Catatan Panjang Siasat Hidup di Antara Ancaman Bencana dan Limpahan Berkah Letusan)
Petani sayuran di kaki Kelud menjadi orang-orang yang terdampak letusan sekaligus paling bersyukur. Meski ribuan hektare lahan tertimbun abu, warga yakin, abu vulkanik merupakan warisan untuk anak cucu mereka kelak.
Maryoto, petani cabai asal Desa Siman lainnya, juga tabah meski merugi hingga Rp15 juta. Ia ingat pada cerita orangtuanya dahulu.
Menurut cerita dari kakek dan ayahnya turun-temurun, kerugian yang diderita petani biasanya tidak akan lama. Beberapa tahun ke depan, abu Kelud pasti membuat tanah semakin subur. Buktinya adalah status Siman sebagai salah satu raksasa sentra sayur di Kediri saat ini.
"Orangtua percaya, abu Kelud adalah warisan kesuburan bagi anak-anaknya. Semoga dari letusan kali ini, saya juga bisa memberikan warisan tanah subur yang sama bagi anak cucu kelak," kata Maryoto.