Mengapa negeri bahari sebesar dan seluas Indonesia justru terpuruk di bidang kebaharian? Ke mana perginya aliran darah “nenek moyangku orang pelaut” yang gemar berlayar rentang samudra…
Mengapa budaya kapal-kapal tradisional Indonesia yang dulu dikenal dunia pelayaran internasional, kini cenderung sekadar hanya menjadi benda pajang di museum?
Kita justru terbengong-bengong melihat kapal-kapal buatan negeri lain berjaya di perairan Indonesia. Kita baru kebakaran jenggot bila ada kabar ikan-ikan kita dicuri nelayan asing.
Kenapa generasi muda Indonesia malah takut main di laut? Mengapa harus orang lain yang diuntungkan oleh keberadaan dan kekayaan bawah laut Indonesia?
Demikian antara lain pokok pemikiran yang termaktub dalam Jukung Lintas Nusa 2013: Cerita Pelayaran Tunggal Effendy Solaeman Bali-Brunei. Buku bercerita tentang ekspedisi Effendy Solaeman dengan menggunakan jukung (perahu tradisional Bali), dari Bali ke Brunei tahun 2013 lalu.
Tak cuma menikmati ombak dan terjangan badai Selat Karimata, buku ini juga menyajikan budaya pesisir sepanjang lintasan arungnya. Informasi menarik tentang seputar daerah-daerah di mana Pendi—demikian dia disapa— “melego jangkar”, menjadikan kisah petualangan itu makin asyik dinikmati.
Kita seolah dibawa berlayar ke tempat-tempat yang mungkin namanya saja tidak kita kenal.
Santapan pengetahuan
Tetapi selain itu, isi buku yang diluncurkan di Depok, Selasa (22/4) ini juga santapan pengetahuan tentang kebaharian Indonesia.
Kata Pendi, “Kita cenderung hanya terperangah, sekaligus kagum tiada terkira, saat menyaksikan kapal-kapal tangguh dan modern buatan bangsa lain berseliweran bebas di sekujur laut Nusantara. Kita bangga karena mampu membeli kapal buatan orang lain, untuk digunakan berlayar ke mana-mana, tanpa mau berpikir lebih dalam bagaimana dulu nenek moyang kita membangun sendiri kapal-kapal tangguh untuk menjangkau berbagai belahan dunia.”
Buku ditulis oleh Heryus Saputro, seorang wartawan kawakan, dengan penyelia Rudy Badil, mantan wartawan Kompas dan senior Mahasiswa Pecinta Alam-Universitas Indonesia (Mapala UI). Diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, setebal 180 halaman dengan foto-foto eksklusif. Buku ini akan beredar di toko-toko buku pada 28 April.
Peluncuran buku sekaligus merupakan rangkaian perayaan 50 tahun Mapala UI. Effendy Solaeman adalah anggota kehormatan Mapala.