Integrasi Bandara dan Kebun Binatang Berisiko

By , Kamis, 24 April 2014 | 15:34 WIB

Rencana integrasi Bandara Sultan Thaha Jambi dengan Kebun Binatang Taman Rimbo di dalam kawasan bandara dinilai tak masuk akal. Rencana tersebut disampaikan pihak PT Angkasa Pura II (Persero) kepada Wakil Presiden Boediono saat meninjau perkembangan pembangunan bandara tersebut.

Kesejahteraan satwa bakal terganggu karena suara bising lalu-lalang pesawat, aktivitas manusia. Risiko lain: keselamatan penerbangan.

"Itu ide konyol. Kebun binatang dengan bandara sangat bertentangan. Dua hal yang akan saling merugikan," kata Barita O Manullang, pakar ekologi satwa liar International Animal Research (IAR), Rabu (23/4).

Manullang mengatakan, Jambi yang berada pada pesisir timur Sumatra menjadi lokasi migrasi burung-burung dari Korea dan Jepang. Kebun binatang yang biasa dipenuhi banyak pepohonan rindang menjadi lokasi bermain ataupun tempat mencari makan burung-burung liar, seperti terjadi di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta.

Keberadaan burung-burung liar tersebut, kata dia, sangat membahayakan lalu lintas penerbangan. Contohnya, kecelakaan pesawat Dornier Do 228 milik maskapai penerbangan Sita Air yang jatuh dan terbakar setelah menabrak burung di dekat Kathmandu, Nepal, pada 28 September 2012.

Suara mesin pesawat yang mengeluarkan kekuatan suara hingga 120 desibel itu juga bakal mengganggu ketenangan satwa.

Apalagi, menurut rencana, Kebun Binatang akan dilintasi akses jalan atau transportasi menuju bandara. "Ini seperti memelihara ikan di kolam renang, tidak ada yang diuntungkan," kata Manullang, yang pernah menjadi Manager Policy and Development Zoological Society of London.

Ia berharap, usulan itu tak disetujui Kementerian Kehutanan sebagai pemberi izin lembaga konservasi termasuk izin kebun binatang.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan menyatakan usulan penyatuan Kebun Binatang Taman Rimbo dengan Bandara Jambi belum sampai ke mejanya.

Namun, secara umum, ia mengatakan, perubahan kebun binatang membutuhkan perubahan analisis dan dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL). "Jadi perlu izin baru dan kajian baru. Kalau satwa terganggu, bahkan bisa stres, jelas tidak akan kami beri izin."