Harapan di Dataran Raya Baluran (3)

By , Kamis, 24 April 2014 | 17:39 WIB

Baluran adalah miniatur hutan Indonesia, wajar saja karena hampir semua tipe hutan terdapat di sini. Mulai dari hutan hujan tropis pegunungan sampai gugusan terumbu karang dapat ditemukan di Baluran. Namun yang paling khas dari wilayah ini adalah hamparan sabana yang luasnya menutupi kurang lebih 40% wilayah Baluran.

Di antara banyak objek wisata yang bisa didatangi, Sabana Bekol adalah primadona. Syahdan, di dataran raya ini para hewan berkumpul untuk mencari air di musim kemarau. “Semua hewan dari gunung turun, karena air hanya tersedia di Sabana Bekol,” kata Nanang Dwi Wahono (33), seorang pegawai senior di Balai Taman Nasional Baluran. Dua belas tahun terakhir hidupnya dihabiskan di Baluran; melakukan pengamatan, survei kelayakan, pendataan satwa, hingga mengamankan wilayah taman nasional dari penjarahan dan perburuan liar.

Saat musim hujan air memang sangat berlimpah, tapi jangan tanya saat musim kemarau karena air menjadi benda paling langka di seluruh Baluran.

Air berlimpah di Sabana Bekol bukanlah suatu kebetulan. Pipa-pipa besi sengaja ditanam menjalar di punggung Gunung Baluran untuk mengalirkan air dari sumbernya di puncak. Meski daerah sekitarnya sudah berubah menjadi sangat kering, sumber air ini selalu penuh sepanjang tahun. Saat itu tahun 1980 ketika instalasi pipa ini pertama kali dipasang, kehidupan terasa nyaman sekalipun bukan musim penghujan. Asupan air bagi satwa begitu lancar.

Namun keadaan itu berubah pada tahun 2003 di mana jaringan pipa sepanjang sembilan kilometer yang menghubungkan Sabana Bekol – Talpat – Sumber Air Kacip itu dirusak oleh oknum pemburu satwa. “Sebetulnya merusak pipa ini salah satu modus mereka,” kata Nanang. Pipa-pipa diputus agar para hewan merangsek naik ke atas gunung. Di situ mereka sudah memasang jebakan dan perburuan jadi lebih mudah, tidak seperti di Sabana Bekol yang sangat dekat dengan pos ranger.

Nanang memiliki jam terbang yang cukup banyak untuk mengatasi hal seperti ini. Berkali-kali ia harus berurusan dengan pemburu satwa liar. Berkali-kali pula ia harus memberdayakan warga untuk bersama-sama peduli akan kelestarian Baluran dan isinya. Berbagai pendekatan ia lakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang arti penting sebuah daerah konservasi.

Bersama tim, Nanang juga mencari alternatif lain yang bisa dikembangkan untuk membantu warga mendapatkan penghidupan tanpa harus mengeksploitasi hutan. “Lambat laun masyarakat sadar, meskipun masih ada saja oknum yang melakukan kejahatan dengan motif ekonomi,” kata Nanang.

Makanan banteng berupa rumput sebetulnya banyak tersedia di sabana, hanya saja persediaan itu terdesak karena invasi tumbuhan pendatang seperti akasia dan bunga kapasan yang menyebar dengan cepat. Dari total 10.000 hektare sabana di Baluran, sekitar 80% sudah berubah menjadi padang bunga kapasan atau hutan akasia.

Habitat banteng pun terdesak. “Padahal banteng dan sabana itu seperti darah dan urat nadi, nggak bisa dipisahkan…” kata Nanang.