Dengan berat hati saya membenahi peralatan mandi saya dan bergegas meninggalkan sungai pagi itu. Pagi terakhir saya bersama Suku Tobelo Dalam di hutan Wasile, Halmahera Timur. Waktu berlalu begitu cepat, padahal rasanya baru kemarin saya menginjakkan kaki di Bandara Buli, Halmahera Timur.
Keindahan alam hutan Wasile bukan satu-satunya hal yang memberatkan hati saya untuk kembali ke ibukota. Kenyataan bahwa saya meninggalkan seorang anak Suku Tobelo Dalam yang sedang sakit, terus meresahkan.
Anak tersebut tidak sakit serius, setidaknya begitulah hasil pemeriksaan fisik sementara yang saya lakukan terhadapnya. Sekadar demam akibat infeksi saluran pernafasan atas yang sering saya temui pada pasien-pasien mungil saya di kota.
Namun, bagi Suku Tobelo Dalam yang hidup secara nomaden di tengah hutan Wasile —di mana fasilitas kesehatan adalah hal yang mustahil ditemui— infeksi saluran pernafasan atas menjadi meresahkan.
Sembari menyiapkan obat-obat yang akan saya berikan bagi anak tersebut, rentetan pertanyaan berkecamuk dalam diri saya. Apakah orangtua sang anak mengerti penjelasan saya tentang cara pemberian obat-obat sederhana ini?
Mengingat baca-tulis adalah hal yang asing bagi mereka. Apakah pengobatan yang saya berikan akan memadai bagi sang anak?
Apabila pengobatan kali ini memulihkan sang anak, bagaimana dengan kali lain atau anak lain? Besok, lusa atau kapan pun, saya maupun penyedia pelayanan kesehatan tidak ada di hutan yang luas ini.
Sepanjang perjalanan pulang yang panjang ke ibukota, membelah hutan, menyusuri sungai, berjam-jam berkendara dan beberapa kali berganti penerbangan, saya berusaha keras menepis semua rasa skeptis saya akan pengobatan tradisional yang diyakini Suku Tobelo Dalam secara turun temurun. Dan tak henti-hentinya berharap keyakinan tersebut dapat membantu mereka mengatasi berbagai masalah kesehatan yang muncul, sampai akhirnya hak mereka akan pelayanan kesehatan yang layak terpenuhi.