Saat ini, badak jawa atau Rhinoceros sondaicus, hanya memiliki populasi tunggal, yaitu di Taman Nasional Ujung Kulon. Jika suatu saat terjadi bencana lokal akibat letusan Gunung Krakatau misalnya, satwa ini bisa jadi musnah, tanpa adanya satwa sejenis di tempat lain.
"Karena itulah badak jawa harus memiliki second habitat," ujar Elisabeth Purastuti dengan tegas, selaku Ujung Kulon Project Leader, WWF Indonesia. Selain ancaman bencana alam, satwa yang beratnya bisa mencapai lebih dari dua ton ini juga rentan terhadap potensi penyebaran penyakit yang berasal dari kerbau peliharaan masyarakat sekitar TNUK.
Ancaman lain adalah dalam hal persaingan ruang dan pakan dengan banteng yang hidup dalam habitat yang sama. Invasive species berupa tanaman langkap yang mampu membunuh spesies lain di sekitar ruang tumbuhnya kecuali spesies itu sendiri, juga menjadi ancaman tersendiri bagi badak jawa. WWF bekerjasama dengan TNUK, IPB dan Yayasan Badak Indonesia, melakukan manajemen habitat dengan mengeradikasi langkap.
Sebagai habitat kedua, sejauh ini ada beberapa lokasi yang menjadi kandidat, yaitu Cagar Alam (CA) Leuweng Sancang, Suaka Margasatwa Cikepuh, CA Rawa Danau, TN Gunung Halimun Salak, Hutan Produksi KPH Banten, serta Hutan Tutupan Baduy.
Tempat mana yang paling cocok? Menurut Iwan Podol, salah anggota WWF yang tergabung dalam tim survei, Cikepuh mendekati kondisi cukup ideal. "Selain jaraknya tak jauh, sejauh ini vegetasi di sana mirip dengan Ujung Kulon," paparnya. Penelitian yang panjang masih harus dilakukan sebelum keputusan akhirnya ditetapkan.