Kerusakan Taman Bungkul Jadi Pelajaran untuk Semua Pihak

By , Rabu, 14 Mei 2014 | 11:18 WIB
()

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) menegaskan bahwa rusaknya Taman Bungkul di Surabaya bisa menjadi pelajaran semua pihak. Terlebih lagi, kerusakan juga menimpa tanaman langka yang ditanam di taman tersebut.

"Seharusnya dalam memanfaatkan fasilitas taman, semua orang harus mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk ikut menjaganya," ujar Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI MS Sembiring dalam pernyataan pers, Rabu (14/5).

Menurutnya, taman memang sudah seharusnya digunakan sebagai fasilitas umum, akan tetapi para penggunanya harus sadar bahwa mereka harus tetap menjaga lingkungan taman.

Setidaknya 5 jenis tanaman langka di Taman Bungkul rusak akibat terinjak-injak masyarakat yang berebut pembagian es krim gratis, pada Minggu (11/5). (Habibur Rohman/Surya)

Seperti yang dilaporkan di media massa, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya, Chalid Buhari menyebutkan bahwa kerusakan di Taman Bungkul tersebut meliputi lima tanaman langka yaitu bintaro merah, beringin putih, joklan, anggur laut, dan pagoda. Tidak hanya itu saja, beberapa tanaman lain juga ikut rusak karena terinjak-injak oleh pengunjung acara.

Padahal dalam konteks ekologis, taman kota memiliki peran yang sangat penting. Selain sebagai ruang terbuka hijau yang menjadi paru-paru kota karena fungsinya yang menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen, taman kota juga penting sebagai resapan air yang nantinya mendukung ketersediaan air bagi penduduk kota.

Taman kota juga berfungsi sebagai sarana untuk melestarikan plasma nutfah. Taman kota adalah bentuk pelestarian keanekaragaman hayati diluar kawasan konservasi. Tanaman langka yang berada di taman dapat menjadi referensi dan edukasi terhadap publik.

Melihat kerusakan tersebut, bagi penyelenggara acara, MS Sembiring meminta untuk lebih bijaksana dalam memilih lokasi kegiatan. Jika harus menggunakan taman, maka penyelenggara harus memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk ikut menjaga taman tersebut. Karena kerusakan yang terjadi justru mencoreng muka penyelenggara acara itu sendiri. Penyelenggara acara seharusnya justru ikut memberikan pendidikan pada masyarakat tentang menjaga lingkungan.

Kemudian, MS Sembiring juga menghimbau kepada pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam menjaga taman-taman ini. "Peraturan dan izin harus diperjelas sehingga penggunanya akan lebih bertanggung jawab," katanya. Taman sebagai fasilitas umum memang harus digunakan oleh masyarakat, akan tetapi pemerintah juga harus aktif untuk memberikan batasan-batasan yang jelas agar ke depan tidak ada lagi taman-taman yang rusak karena sebuah acara. Batasan dan aturan tersebut harus disosialisasikan dengan jelas.

Selain adanya kerusakan di Taman Bungkul, acara yang sama juga membuat tumpukan sampah di Balikota Bandung di Jalan Wastukencana. Hal seperti ini tentunya dapat dihindarkan jika penyelenggara acara dan pengunjungnya peduli terhadap lingkungan.