Kisah Putra Rote Melestarikan Sasando

By , Jumat, 16 Mei 2014 | 10:12 WIB

Rumah sederhana tersebut dikenal sebagai bengkel perajin sasando, berada di Oebelo Puluti, Kabupaten Kupang Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jaraknya 20 km, dapat ditempuh selama 45 menit dari Kota Kupang. Kalau berpelesir ke Kupang, jangan lupa mengunjunginya.

Di sinilah bertemu dengan Jeremias Pah, seorang putra Rote yang bekerja sebagai seorang perajin dari Bengkel Perajin Sasando.

Masyarakat Oebelo kebanyakan adalah petani garam. Hal tersebut bisa dilihat kala melintasi sepanjang jalan besarnya. Tepi jalan dihiasi dengan garam yang dipasarkan dalam bentuk sokal (sejenis tabung panjang yang bahannya terbuat dari daun lontar). Daun lontar memang menjadi komoditas yang banyak digunakan di Kupang. Selain bisa diubah menjadi berbagai macam tempat penyimpanan, di sini anyaman daun lontar juga biasa digunakan sebagai atap rumah, karpet, bahan rumah gubuk juga kerajinan yang biasa dipakai oleh Jeremias Pah.

Jeremias bukanlah orang Oebelo asli. Asalnya dari Rote, tempat asal alat musik tradisi sasando berasal. “Silakan masuk, di belakang biasa kami buat sasando,” ajak Jeremias dalam bahasa Rote pada kami saat ditemui di rumah Perajin Sasando. Jeremias tak lancar berbahasa Indonesia. Tempatnya cukup luas tetapi tak tertata rapi, atap rumah berhias daun lontar, sedang alasnya adalah tanah langsung.

Sebelum memperlihatkan cara membuat sasando, Jeremias memainkan alat musik ini sebentar sambil bernyanyi, menunjukkan kebolehannya. Syahdu, kami larut dalam petikan sasando yang ia mainkan. “Bermain sasando sesuai tradisi haruslah memakai pakaian seperti ini,” ujar Jeremias menunjukkan pakaian yang sedang ia gunakan. Kemeja dengan balutan sarung berbahan kain tenun lengkap dengan syal bermotif tenun Rote, di mana hitam menjadi dasarnya beserta topi adat Ti’I Langga yang juga berbahan dasar daun lontar.

Puas memainkan sasando, Jeremias mulai menunjukkan cara membuat sasando. Bagian tengah sasando adalah tabung panjang yang terbuat dari bambu. Bambu ini kemudian dipasangkan senar yang direntangkan dari atas ke bawah. Tiap petikan senar menghasilkan nada yang berbeda-beda. Lalu melengkapi sentuhan cantiknya, bambu tersebut ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari daun lontar yang dibuat seperti kipas yang ditekuk setengah lingkaran, gunanya sebagai tempat resonansi.

Begitulah kesibukan Jeremias, hampir tiap hari waktunya dihabiskan dalam bengkel ini sejak tahun 1960-an. Selain menjadi perajin ia pun biasa menjadi tenaga pengajar panggilan. ”Pernah saya dipanggil oleh mahasiswa Jepang yang sedang berkunjung ke Jogja, hampir mereka tak percaya alat musik ini bisa memainkan nada-nada secara lengkap," katanya.

“Di Nusa Tenggara Timur sendiri, sasando dimainkan untuk beberapa keperluan seperti menghibur kerabat atau orang yang berduka cita, sebagai pengiring tarian dan upacara adat, menyambut tamu penting, atau sekadar alat musik penghibur,” kata Jeremias.

Tapi belakangan, sasando memang banyak dinikmati sebagai musik penghibur. “Tak banyak yang bisa memainkan alat musik ini dengan baik. Saya sendiri mencoba mewariskan kemampuan pada semua anak saya,” ujar ayah dari salah satu pemain sasando Indonesia, Berto Pah ini.

Memainkan sasando sudah dilakoni sejak ia muda dan menetap di Rote dahulu, sayang karena jaraknya yang jauh dari kota banyak orang enggan datang ke sana. “Sulit untuk melestarikan di sana, saya harus pindah ke sini agar wisatawan dari kota bisa lihat, membeli ataupun belajar di sini,” tuturnya

Kini, di usianya yang tak lagi muda, si putra Rote ini tetap bertekad melestarikan sasando hingga ke mancanegara. Selain Berto Pah yang kita kenal lewat ajang pencarian bakat televisi, anaknya Jack dan Djitron juga mewarisi bakatnya. Bahkan kini, Jeremias dan Djitron lalu mengembangkan Sasando elektrik. “Bisa dibilang saat ini, saya adalah pemain sasando tertua di Indonesia, untuk itu tahun 2008 saya juga mendapat piagam penghargaan dari Presiden,” tambah lelaki kelahiran tahun 1939 ini sambil menunjukkan rak dengan isi piala di atasnya. Di sana juga terdapat piala bergilir untuk Festival Sasando juga dari Presiden dan beberapa Festival lainnya.

Selain Sasando elektrik, Jeremias juga membuat beberapa jenis sasando. Mulai dari 10 senar hingga 56 senar yang dibuatnya selama 5 hingga 15 hari. Harganya pun variatif, mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 3.500.000.

Oebelo, kini di sini lah ia ingin menghabiskan masa tuanya, di mana orang lebih mengenalnya karena sasando, alat musik yang biasa ia buat dan mainkan.