Lahan yang makin menyempit tak hanya terjadi di sawah, kebun, ladang, tetapi juga pekarangan – lahan yang langsung berdampingan dengan rumah. Fragmentasi lahan menjadikan pekarangan yang merupakan pertahanan pangan terakhir itu nyaris hilang.
Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya.
Kalau sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, sudah tak mudah untuk diterapkan. Di depan rumah bukan lagi lahan pekarangan tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga.
Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga.
Di sebuah rumah di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sebuah keluarga masih bisa memanen berbagai tanaman dan hewan dari pekarangan. Di pekarangan ada ubi, papaya, lele, sapi, dan lebah madu. Tak jauh dari rumahnya tersedia sawah yang memasok beras.
Inilah gambaran yang mewakili profil pekarangan. Gambaran pekarangan ini memang lebih sederhana dibandingkan dengan pekarangan pada masa lalu—yang lebih komplet, yang di dalamnya ada tanaman obat-obatan, pohon bambu, pohon kelapa, pohon jati, dan lain-lain. Tanaman obat menjadi apotek hidup sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka dengan mudah mendapat obatnya.
“Saat ini keanekaragaman hayati pekarangan memang menurun. Peran pekarangan sebagai penopang ekonomi lebih menonjol ketimbang sumber gizi keluarga. Eksploitasi pekarangan meningkat. Mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Kepala Pusat Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga peneliti pekarangan, Antonius Budisusila.
Sebab pada masa lalu, pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri.
Munculnya pekarangan dalam sistem pertanian di Nusantara tidak mudah didapat dari literatur. Meski demikian, di dalam tulisan The Javanese Homegarden yang termuat di Journal for Farming Systems Research (1992), Otto Soemarwoto dan GR Conway menyebutkan, berdasarkan sumber tertulis, pekarangan sudah ada semenjak 860 Masehi. Pekarangan Nusantara diperkirakan sudah lama ada, dan Jawa Tengah diduga merupakan tempat asalnya.
Penelitian mengenai pekarangan sudah banyak dilakukan. Sejak zaman kolonial, para peneliti sudah berminat untuk meneliti. Dalam History of Java (1917), Thomas Stamford Raffles menyebutkan pula, setidaknya terdapat 10 persen pekarangan dari luas areal pertanian yang ada.
Sementara itu, Budisusila melihat pekarangan muncul ketika pasar dan negara (dan juga kerajaan pada masa lalu) tidak memikirkan pangan rakyat sehingga rakyat mampu secara mandiri memikirkan ketahanan pangan mereka. “Pasar dan negara sudah terbukti sejak masa lalu hingga hari ini, bukan institusi yang baik yang memikirkan ketahanan pangan rakyat. Rakyat memiliki inisiatif sendiri yang serius melalui pekarangan.”
Ideologi kemandirian pangan pun sebenarnya sudah ada sejak lama di tingkat rakyat. Rakyat punya otoritas untuk memperjuangkan kemandirian pangan, setidaknya melalui pekarangan. Di samping itu, ia melihat pekarangan merupakan cermin kebudayaan rakyat dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek ketahanan pangan, ekonomi, artistik, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin terjadi dalam jangka menengah dan jangka panjang.
(Disadur dari Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan - Andreas Maryoto, 2009)