Saya bertandang bersama komunitas Love Our Heritage. Titik temu kami pada Sabtu awal Desember pukul delapan pagi adalah di Pondok Cina, Jalan Margonda Raya, jalan utama Kota Depok yang sejajar dengan rel kereta api dan Kampus UI. Pondok Cina, “gedung putih” bertegel dominan kelabu dan beberapa membentuk ragam hias geometris dan flora warna-warni, pintu kayu kokoh dan panel kaca tebal khas tempo doeloe itu kini ditempati kedai Old House Coffee, menggantikan Oh La La Bistro di halaman depan pusat niaga Margo City yang berdiri sejak 2006.
Margonda diambil dari nama analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor, pernah dididik sebagai penerbang cadangan Belanda, menjadi karyawan di mada pendudukan Jepang, bergabung dengan Angkatan Muda Republik Indonesia, berjuang dan gugur menentang Belanda kembali.
“Pondok Cina ini dulu berada di puncak bukit kecil, bukan rata sejajar dengan jalan seperti sekarang,” papar Yano Jonathans, penulis buku Depok Tempo Doeloe (2011), “Sampai batas di sinilah dulu orang-orang Cina (Tiongkok) singgah dan beristirahat karena Cornelis Chastelein melarang orang Tiongkok berdagang masuk Depok. Agar warganya tak tergantung pedagang Tiongkok yang kala itu suka mengisap madat.”
Ini bukan rasis karena ada yang kemudian menikahi wanita Tiongkok. Yano Jonathans adalah keturunan salah satu pekerja asuhan Cornelis Chastelein, “toean baik hati” mantan karyawan VOC yang membentuk komunitas yang disalahkaprahi Belanda Depok itu.
Saya coba mengingat-ingat masa dua dekade lalu ketika mengunjungi kost teman di Pondok Cina. Lingkungan masih asri berupa kebun buah – jambu kelutuk, sirsak, kecapi, rambutan.
Presiden Soeharto telah memilih Depok sejak 1976 sebagai Perumnas I berpenduduk 100.000, tapi kampus UI sejak 1987 menjadi sebagai “arsitek” yang merangsang warga dan pendatang mengubah Depok menjadi kotamadya (1999) yang dipenuhi pertokoan, perumahan dan usaha lain yang awalnya untuk menangkap peluang memenuhi kebutuhan warga UI dalam studi dan keseharian.