Pelaksanaan Moratorium Hutan Masih Belum Optimal

By , Jumat, 23 Mei 2014 | 21:00 WIB

Pelaksanaan moratorium hutan belum menjadi prioritas sampai saat ini. Di beberapa wilayah, izin pembukaan hutan masih terjadi, bahkan meningkat. Hal itu terungkap dalam konferensi pers "3 Tahun Moratorium Izin Kehutanan" yang digelar Koalisi Hutan dan Iklim, Rabu (21/5).

Azmi Sirajuddin dari Yayasan Merah Puti Palu, Sulawesi Tengah, mengatakan bahwa target-target ekonomi masih menjadi prioritas utama dibandingkan konservasi.

"Kebijakan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) lebih mendapat tempat bagi para bupati dibandingkan dengan kebijakan moratorium," katanya.

Izin tambang di Sulawesi Tengah malahan bertambah ketika moratorium diberlakukan, dari 279 pada tahun 2009 seluas 900.000 hektar menjadi 443 pada tahun 2014 seluas 1,3 juta hektare.

Azmi menuturkan, salah satu sebab banyaknya perizinan adalah Sulawesi Tengah yang dalam MP3EI ditargetkan menjadi daerah penghasil bijih besi dan timah. Pemberian izin di wilayah yang masuk kawasan moratorium juga merugikan warga lokal. Kasus nyata terdapat di Desa Podi, Sulawesi Tengah.

"Tahun 2012, ada izin tambang seluas 5000 hektar. Ini menyebabkan desa itu lebih rawan bencana," kata Azmi.

Desa Podi terletak di lereng Gunung Katopasa. Setiap tahun, 100 metrik ton material longsor ke Desa Podi. Dengan adanya tambang, akan semakin banyak material yang longsor ke desa itu.

"Benar-benar sangat tragis bahwa wilayah yang rentan bencana tetapi masih ada izin tambang di sana," imbuhnya.

Praktik perizinan dalam periode moratorium juga terjadi di Kalimantan Tengah yang sebenarnya menjadi pilot proyek pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi (REDD+).

"Di Kalimantan Tengah masih muncul izin untuk memanfaatkan kawasan hutan," kata Edo Rahman dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Moratorium hutan dan lahan gambut mulai ditetapkan pada Mei 2011. Dengan perpanjang moratorium tahun ini, kebijakan moratorium akan berakhir Mei tahun 2015.