Komik tradisional Supardi tetap bertahan di tengah gempuran arus industri perfilman dan komik dari luar negeri. Pasalnya, Supardi (56) tak pernah surut semangat untuk menelurkan komik-komik tradisional. Kakek dua cucu itu tetap setia menulis cerita tentang berbagai kisah fiksi kepahlawanan dan misteri. Komik-komiknya memang jauh dari kesan modern dan digital layaknya komik-komik masa kini. Komik tradisional Supardi di atas secarik kertas, ia menulis cerita dengan tangan, menggunakan pensil dan spidol. Hanya beberapa bagian saja yang diwarnai dengan spidol berwarna. Meski demikian, Supardi tidak kecil hati. Bahkan cerita-cerita yang dihasilkan kemudian dilengkapi dengan gambar-gambar yang atraktif. Jadilah komik yang layak dibaca. Supardi menceritakan, kecintaannya dengan dunia komik hanya berawal dari iseng untuk mengisi waktu luang setelah dirinya pulang bekerja di sebuah perusahaan perhiasan di Jakarta tahun 1980 silam. “Awalnya hanya iseng-iseng saja, kalau pulang kerja santai atau pas libur saya pasti menulis cerita dan menggambar,” kisah Supardi, saat ditemui di sebuah pameran di Alun-alun Kota Magelang belum lama ini. Hobinya itu semakin digeluti setelah dirinya terkena dampak krisis moneter pada tahun 1998. Perusahaan tempat dia bekerja melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, tidak terkecuali dirinya yang juga di-PHK. “Setelah di-PHK saya putuskan untuk pulang kampung. Saat saya tidak ada pekerjaan itu saya menulis dan menggambar. Ada puluhan komik yang saya buat. Banyak teman-teman, anak-anak tetangga yang menyukai komik saya,” tutur warga Dusun Pongangan, Kelurahan Wates, Kota Magelang itu. Beberapa tahun setelah ia menganggur, ia dipanggil lagi untuk bekerja di Jakarta. Namun tidak lama dia bekerja, perusahaan memberhentikannya lagi. Supardi kemudian kembali ke kampung halaman dan bekerja serabutan. “Saya tidak belajar menggambar secara khusus, otodidak saja. Saat itu saya sering diminta untuk melukis dinding sekolah-sekolah taman kanak-kanak (TK) di Magelang,” tutur Supardi. Hingga kini, sudah tidak terhitung jumlah komik yang diciptakannya. Namun, karena keterbatasannya untuk mendokumentasi, sebagian komik-komik tradisional Supardi hilang karena sering dipinjam dan tidak dikembalikan lagi. Supardi juga belum berpikir untuk menawarkan karya ciptanya ke penerbit dan diproduksi massal. “Dulu pernah ada seseorang yang meminta komik saya dan berjanji akan menerbitkannya, tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutannya,” ucapnya. Sebagian besar komik yang ditulisnya bercerita tentang kisah pahlawan, wayang dan misteri, seperti komik berjudul Sunan Kalijaga, Sri Kali Bojong dan Genderuwo Djoerang Tawon. Meski hanya fiktif, namun di balik cerita-cerita itu mengandung banyak pesan moral bagi pembaca khususnya generasi muda. Selain komik tradisional, Supardi juga sering menciptakan topeng kertas. Biasanya topeng-topeng itu untuk mainan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Melalui karya-karyanya itu, Supardi ingin menggugah masyarakat khususnya generasi muda untuk tidak melupakan budaya bangsa. “Saya prihatin, anak-anak sekarang lebih menyukai komik atau film-film barat yang minim pesan moral. Padahal bangsa ini kaya akan budaya dengan nilai-nilai moral tinggi. Seperti kisah pewayangan yang sejatinya mengandung unsur toto kromo—sopan santun, kepedulian dan sebagainya,” tuturnya.