Nama Harto Al Karim mungkin masih terdengar asing. Tapi begitu kita sebut nama Harto Kapal, nama ini lebih familiar dan bisa dipastikan banyak orang pernah mendengarnya atau mengenalnya. Ia bukan pilot, teknisi, atau pemilik maskapai. Harto hanya seorang perajin miniatur pesawat.
Produksinya juga tak dibuat di kawasan industri besar, melainkan hanya di sebuah kampung bernama Cangkrang di kawasan Dramaga, Bogor, Jawa Barat, bersinggungan dengan sawah milik rakyat setempat. Tapi dari tempat terpencil itulah beragam maskapai dari seluruh penjuru dunia telah mengakui karyanya. Kualitas, bukan kuantitas jadi prinsip kerjanya.
Jangankan sekolah teknik penerbangan, jenis-jenis pesawat pun ia tak begitu paham. Satu-satunya modal yang ia miliki saat itu hanya majalah-majalah penerbangan dari luar negeri. Dari majalah itulah ia mulai mempelajari spesifikasi tiap pesawat.
Setelah mencoba berkali-kali, tahun 1984 Harto Kapal mulai percaya diri untuk mengenalkan produknya. Tak tanggung-tanggung, mimpinya ingin mencari pelanggan di luar negeri.
Ia pun memerah akalnya agar bisa menemukan cara berpromosi yang murah tapi efektif. “Caranya waktu itu saya datang ke bandara bawa brosur banyak. Saya titip ke orang-orang yang mau ke luar negeri, siapa saja yang saya lihat saya kasih. Saya bilang ke mereka, tolong brosur ini ditaruh di mana saja, di toilet, kursi, meja,” kenang pria asli Makassar ini.
Benar saja, cara unik ini membuahkan hasil. Saat itu ada maskapai dari Eropa meneleponnya dan memesan sebuah miniatur pesawat.
Dari situ perlahan order pembuatan miniatur mulai mengalir, awalnya dua minggu sekali, kemudian jadi seminggu sekali, hingga hampir setiap hari. Walau jumlah pesanan makin meningkat Harto mengaku sama sekali tak menurunkan kualitas produknya.
Diversifikasi usaha
Tahun ini tepat 30 tahun Harto Kapal berkiprah menciptakan ratusan, bahkan ribuan miniatur pesawat. Perjalanan berpuluh tahun itu tak selalu manis, kadang asam, bahkan pahit. Pria yang menggeluti olahraga dirgantara paramotor ini menyebut awal era 90-an sebagai masa yang paling manis. Saat itu ia mempekerjakan hingga 200 pegawai di bengkel miniatur pesawatnya.
“Begitu masuk tahun 1995 order mulai turun. Sekitar tahun 1997 waktu krisis kami sampai mati suri karena tidak ada order,” ujarnya mengenang masa-masa pahitnya. Di saat sulit itu harga bahan baku membumbung tinggi, sedangkan masih banyak order yang ada dalam daftar tunggu produksi. Walau merugi tapi Harto tetap menyelesaikan seluruh pesanan dengan baik.
Integritas dan kredibilitas di masa sulit ini ternyata tak dilupakan oleh para klien. Di tahun 2000 pelanggan mulai menghubunginya lagi untuk memesan miniatur. Perlahan bisnisnya mulai hidup lagi. Bagi Harto ini adalah buah dari prinsipnya yang selalu mengutamakan kualitas. Baginya tiap pekerjaan harus dievaluasi kembali, jika ada yang kurang harus diperbaiki.
“Bagi saya tidak ada kata lumayan. Adanya baik sekali atau jelek sekali dan saya memilih barang saya harus baik sekali,” tegasnya.
Tanpa menyebut jumlah saat ini pesanan yang diterima Harto terbilang banyak, walau tak sebanyak dulu. Namun ia resah akibat gempuran produk Tiongkok yang harganya jauh lebih murah. Biar begitu Harto tak mau menyaingi kemurahan produk-produk Tiongkok itu. Sekali lagi ia menegaskan bahwa baginya yang penting adalah kualitas dan karena kualitas itulah ia tetap dipercaya oleh pelanggannya.
Harto memiliki cara lain untuk mampu bersaing. Ia melakukan diversifikasi usaha dengan mulai memroduksi baling-baling paramotor. Ia mengklaim baling-baling hasil karyanya ini memiliki kualitas yang tak kalah dengan produk-produk bermerek terkenal.
“Yang biasa dipakai itu harganya sekitar Rp4,5 juta, tapi dengan bahan yang sama dan bisa menghasilkan tenaga lebih besar propeler saya cuma Rp2,5 juta,” terangnya