Teh Dewata Berdamai dengan Cagar Alam Gunung Tilu (1)

By , Kamis, 5 Juni 2014 | 14:30 WIB

Saya menarik napas lega usai tiga jam lepas dari belitan lalu-lintas kota Jakarta dan Bandung. Mengarah 27 kilometer ke selatan, ke kehijauan Ciwidey–sawah, kebun stroberi dan teh yang memenuhi perbukitan, dipagari pinus dan cemara. Dijemput jip gardan ganda dari Republik Jip usai makan siang khas Sunda, saya bersiap untuk petualangan, 40 kilometer lagi menuju tujuan akhir: Perkebunan Teh Dewata di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu.

Perkebunan palawija banyak menemani 10 kilometer awal perjalanan di jalan aspal yang perlahan jadi jalan berpasir berbatu. Melewati Kampung Gambung, Desa Mekarsari dan perkebunan teh PT Perkebunan VIII di ‘belakang’ Kawah Putih, Gunung Patuha(2.434 meter).

Dari kampung akhir, sepanjang 30 kilometer kemudian, jalan berliku-liku dan kelebatan hutan hujan dataran tinggi yang didominasi saninten (Castanopsis javanica), rasamala (Altrigia excelca), kiputri (Podocarpus sp.), pasang (Quercus sp.), teureup (Artocarpus alasticus), puspa (Schiima walichii), kondang (Ficus lariegata), tunggeureuk (Castonopsis tunggurut) di kanan kiri menandai kami memasuki cagar alam.

Saya berharap, walau mungkin berlebihan, bisa melihat sekelebat bajing (Calcoselurus notatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), owa jawa (Hylobates moloch), kijang (Muntiacus muntjak), lutung (Trachyptechus auratus), burung dederuk (Streptopelia bilorquata), perkutut (Geopelia striata), ular sanca (Phyton sp.).

Inilah kekayaan flora fauna di kawasan bukit dan gunung seluas 8.000 hektare, yang menjadi salah satu dasar penetapan sebagai Cagar Alam Gunung Tilu pada 1978. Mencakup tiga kecamatan–Ciwidey, Pasir Jambu, Pangalengan–di Kabupaten Bandung dengan kawasan berbukit bergunung (Gunung Malabar, Wayang, Kancana, Tambakruyung, Masigit, Dewata) di 1.150–2.344 meter di atas permukaan laut.

Setelah dua jam, kami masuki kawasan perkebunan teh yang sudah berdiri sejak masa Hindia Belanda, 1932. Di kejauhan, Gunung Waringin masih menunjukkan sebagian wajah merah, sisa longsor di pagi Februari 2010 Afdeling G5, Perkebunan Teh Dewata, Kampung Dewata, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu yang membawa korban jiwa 44 jiwa – sebagian besar pemetik teh yang tengah bekerja. Longsor yang ditengarai dipicu hujan deras beberapa hari sebelumnya, kian melemahkan bukit yang meretak akibat rembetan gempa bumi Garut, 2009.

Kehidupan di perkebunan yang memasok lebih dari 50 persen kebutuhan teh hijau sedunia bagi Lipton, perusahan teh dari Inggris, itu tampak sudah memulih. Pemetik teh dan keluarganya berkerumun di muka komplek rumah, melambai dan melempar tawa ketika kami melintas. Di jelang senja itu, enam pekerja pria masih berkutat dengan tudung-tudung biru di bagian kebun yang ditujukan untuk teh bermutu istimewa seperti white tea yang harganya tak kurang dari USD 100/kilogram.

Masih dari jendela mobil, di sejumlah bagian kebun, mata saya menangkap palang-palang bertulisan: “Di sini habitat elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann), suruli/monyet berbulu perak (Presbytus comata); Batas minimal 10 meter penyemprotan pestisida.”

Melewati gedung utama pabrik teh, mobil kami berhenti di mulut jembatan sungai Ci Kahuripan. Saya susuri tepi sungai di sisi  Arboretum (kebun bibit pohon-pohon kayu) untuk melihat lebih dekat instalasi pembangkit listrik tenaga air yang memenuhi kebutuhan energi pabrik dan 1.380 jiwa – termasuk 800 pemetik teh – yang tinggal di dalam perkebunan ini.

Palang-palang tadi adalah sebagian penanda dari sebagian langkah 10 kriteria International Sustainable Agriculture Network (SAN), sertifikat perkebunan yang memperhatikan masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang mendapat sertifikat Rain Forest Alliance pada Januari 2009. Di antaranya, rendah pemakaian bahan kimia, dan menjaga sumber air. Jadi, jenis pestisida terbatas yang diperbolehkan di area kebun, minimal berjarak 30m dari mata air.

Pengikisan tanah mesti dicegah hingga 10% lahan mesti ditanami pohon kayu besar dalam tujuh tahun. Pemanfaatan sungai sebagai pembangkit listrik menghemat penggunaan solar untuk kebutuhan pabrik dan warga perkebunan. Seperti di perkebunan teh Kericho di Kenya, penggunaan energi terbarukan menghemat 98 persen bahan bakar, hingga solar hanya dibutuhkan untuk kendaraan operasional.

Sementara kesejahteraan pekerja perkebunan laiknya di perusahaan perkebunan teh lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi: perumahan, pendidikan anak, jaminan kesehatan dan keamanan bekerja. Untuk hal terakhir, setelah bencana alam itu, dijadwalkan dibangun bunker, jaga-jaga ketika terjadi bencana tiba-tiba.