Di sekitar ‘pulau tenggelam’ gugus terumbu karang yang didominasi hard coral, akhirnya saya menemukan ‘akuarium’ Gorontalo. Berbagai jenis ikan kecil berseliweran seperti ikan behang (Plecturhinchus chaetodonoides) yang gerakannya seperti penari, ikan buncit (Arothron nigropunctatus) yang bisa membentuk tubuh bak bola bila merasa terganggu.
Saya sedang asyik memotret-motret beberapa ikan lepu ayam (Dendrochirus brachypterus) ketika tiba-tiba Rantje menarik saya dari muka pasir. Oh, lagi-lagi ia khawatir saya akan tak sengaja menyentuh ikan lepu batu (Scorpaenopsis oxychepala) yang berdiam tenang-tenang beberapa meter dari posisi saya tadi.
Di perjalanan pulang kami mendapat bonus lagi. Berpapasan dengan seorang nelayan, dengan katintin yang telah dimuati seekor ikan layar (blue marlin) sepanjang hampir 2 meter.
Saya hanya sempat menyelami enam titik yang mungkin belum cukup mewakili kekayaan bawah laut Gorontalo.
Saya pahami keheranan beberapa rekan penyelam yang lebih dulu menikmatinya. Dengan terumbu karang sesubur itu, dipenuhi ragam kaya spons, soft coral, hard coral–persediaan pangan biota– jumlah ikan rasanya terlalu sedikit. Tak sekalipun saya menemukan penyu dan suntung batu (Sepia latimanus) yang gemar memakan spons.
Pengalaman lebih dari 275 kali menyelam dari Aceh sampai Papua membekali, bahwa apa yang kita lihat dan nikmati kadang tergantung keberuntungan, lebih lagi: kejelian dan apa yang menjadi titik perhatian.
Dengan 50.500 kilometer persegi perairan laut Gorontalo, sekitar 25 titik selam yang sudah disurvei dan dijelajahi, yang semuanya berkisar di seputar daratan Sulawesi, belum menjangkau 67 pulau – 56 pulau di di sisi selatan (Teluk Tomini), 9 pulau di sisi utara (Laut Sulawesi). Tentu jumlah ini masih sangat sedikit.