"Ini Kalo Sara, artinya lingakaran atau ikatan adat," ujar Irwansyah Maal sembari menunjukkan kepada saya peranti sakral yang menjadi bagian pementasan kelompok teaternya. Peranti itu berupa lembaran anyaman rotan. Di permukaannya terhampar kain kafan yang warnanya tak putih lagi. Lingkaran dari lilitan tiga rotan dan selembar daun sirih berada di tengah-tengahnya. "Semua suku di Sulawesi Tenggara harus tunduk dengan hukum adat ini."Di belakang panggung Gedung Kesenian Jakarta, saya berkesempatan menjumpai Irwansyah dan kelompok teaternya ”Sendiri” asal Kendari Sulawesi Tenggara . Dalam semarak Festival Nasional Teater Tradisi 13-17 Juni 2014, mereka akan membawakan lakon Anawai Mewuku Manu—bahasa daerah Sulawesi Tenggara yang bisa diartikan sebagai “perempuan dan tulang ayam.” Kami berbincang hanya beberapa menit jelang pementasan tersebut. Sembari menanti giliran pentas, dia berkisah bahwa leluhurnya merupakan tetua adat suku Tolaki yang sangat dihormati oleh suku-suku lainnya di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kalo Sara sudah menjadi warisan sakral keluarganya, demikian ujarnya, bahkan kini menjadi bagian cagar budaya nasional. “Ini sebenarnya tidak bisa keluar sembarangan. Kita membawanya karena untuk memperkenalkan tradisi ini.”
Bagi suku Tolaki, Kalo Sara merupakan peranti adat untuk upacara pernikahan hingga menyelesaikan pertikaian. Daun sirih dan pinang adalah lambang kehidupan, demikian tuturnya. Kain kafan berwarna putih, sekaligus mengingatkan bahwa kehidupan itu sebenarnya berakhir dengan kematian. Jadi selain bermakna kultural kain kafan itu juga spiritual. Sementara, tiga lilit rotan yang membentuk satu lingkaran tadi bermakna: agama, adat, dan negara.Seorang pemain memberi kode kepada saya bahwa waktu pentas segera tiba. Layar perlahan tersingkap di panggung bergaya neoklasik abad ke-19. Anawai Mewuku Manu merupakan lakon yang bercerita tentang sepenggal kehidupan warga pesisir Sulawesi Tenggara. Anawai hidup seorang diri lantaran suaminya pergi merantau. Satu persatu cobaan menghampiri Anawai. Seorang penjual sagu yang memikul basung (tempat sagu) berdalih kemalaman supaya bisa menumpang bermalam di rumahnya. Lelaki itu punya hasrat berbuat jahat kepada Anawai. Namun, perempuan itu tidak pernah ada keinginan sedikit pun untuk membalasnya dengan perbuatan jahat. Justru Anawai menghidangkan santapan ayam goreng untuk tamunya itu. Si pedagang sagu, lantaran sangat bernafsu makan dan bernafsu birahi, tiba-tiba tersedak: Tulang ayam itu melintang di kerongkongan. Kemudian datang lagi gangguan dari dua saudagar yang ingin mempersitrinya. Mereka saling bertikai untuk mendapatkan Anawai. Pada babak terakhir, peran tokoh adat sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan perselisihan. Seorang tokoh adat, yang diperankan Irwansyah, mendamaikan mereka yang berselisih lewat Kalo Sara sebagai hukum adat tertinggi.
"Pesannya,” ujar Sutradara dan Penulis Naskah Achmad Zain di belakang panggung, ”ketabahan dan kesetiaan seorang istri ketika ditinggal suami merantau." Walaupun orang berniat jahat kepada kita, Zain menambahkan, sebaiknya kita tetap berpikiran baik. Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan juga. Benang merah yang juga ingin disampaikan dalam pertunjukan ini adalah "Jika terjadi konflik, ketua adat yang menyelesaikan," Zain berujar. ”Kita mempunyai hukum adat yang tertinggi—Kalo Sara.”
Pertunjukan tadi mewakili keberadaan beberapa suku di Sulawesi Tenggara. Para pemainnya berasal dari suku Tolaki, Muna, Moronene, Wawonii, dan Kabaena. Uniknya, masing-masing memiliki dialek yang berbeda. "Inae konasara iye pinsara, inae liasara iye pinakasara," demikian sebuah ungkapan yang saya dapatkan dalam pementasan ini sebagai upaya mereka untuk mempertahankan kearifan sang pitarah. "Siapa yang mengikuti adat, dia akan diperlakukan dengan baik. Siapa yang tidak ikut adat, dia akan dikasari."