Gulali Kini Tidak Lagi Sederhana

By , Senin, 16 Juni 2014 | 20:00 WIB

Jika ingin melihat sosoknya, beberapa pedagang gulali kini bisa ditemui di pinggiran kota atau kampung-kampung padat penduduk.

Di masa kini banyak anak yang tak kenal lagi dengan gulali. Ini memang makanan "jadul", alias zaman dulu. 

Dulu, gulali tampil begitu sederhana. Warnanya tak mencolok, coklat bening karena terbuat dari gula cair seperti karamel. Di Malang, pedagang gulali berseliweran. Tak heran, sebab dulunya pertanian tebu mendominasi di daerah ini.

Dulunya, gulali dibawa dengan cara dipikul. Kini gulali sudah mulai dijajakan di atas sepeda. Cara pembuatannya masih tradisional, yaitu dengan memasak gula pasir dengan wajan hingga menjadi karamel.

Salah satu pedagang adalah Munir (65). Memang, sebagian besar pedagang gulali yang tersisa di Malang adalah orang tua. Munir biasa berjualan berkeliling Kota Malang dengan naik sepeda. Gerobakan sepeda miliknya dilengkapi kompor untuk memanaskan gula. 

Gulali yang ia jual tentu saja sudah mengalami transformasi mengikuti zaman. Kalau dulu gulali sekadar digulung seadanya menjadi gumpalan lalu diberi tangkai. Oleh Munir, gulali kini dikreasikan menjadi aneka bentuk, seperti burung sampai empeng bayi. Tangan Munir terampil mengolah gulali menjadi bentuk-bentuk yang menarik perhatian anak-anak.  

Ada desir nostalgia merasuk saat melihat gulungan gulali tengah dibentuk. "Ada yang dibentuk sendiri, tapi juga ada yang pakai cetakan," tutur Munir. 

Selain itu, gulali yang dijualnya juga berwarna, tak sekadar berwarna cokelat. Gulali kini menjadi mirip lolipop dengan aneka warna cerah seperti hijau dan merah. Pewarna yang dipakai merupakan pewarna makanan. 

Ada salah satu bentuk yang unik, yaitu bentuk burung. Jika ditiup di bagian ekor, maka akan berbunyi layaknya peluit. Harga gulali juga variatif mulai dari Rp2.000 tergantung dari ukuran dan kerumitan dalam membuat bentuk gulali.    (Ni Luh Made Pertiwi F/Kompas.com)