Pencurian Artefak, Bukan Kejahatan tanpa Korban

By , Senin, 16 Juni 2014 | 21:00 WIB

Penelitian di Kamboja merupakan bagian dari gelombang penelitian baru di dunia perdagangan gelap barang antik. Meskipun statistik yang dapat diandalkan tentang perdagangan gelap masih langka, survei terbaru dari 14.500 arkeolog menunjukkan, bahwa para penjarah sedang bekerja di sedikitnya 103 negara di seluruh dunia.

Sebagian besar negara memiliki undang-undang yang melarang perampasan situs dan ekspor warisan budaya mereka yang dicuri, tetapi kolektor kaya dan pembeli lain terus membeli artefak yang dijarah.

"Para kolektor dan pembeli ini sering menganggap perdagangan ini sebagai kejahatan tanpa korban," kata kriminolog Simon Mackenzie dari University of Glasgow di Skotlandia.

Beberapa penelitian, baik yang sedang berlangsung maupun sudah diterbitkan, mengaitkan perdagangan barang antik dengan berbagai kejahatan berat, termasuk korupsi, pencucian uang, prostitusi, dan penyelundupan obat-obatan dan satwa liar yang terancam punah.

Selain itu, bukti baru dari Afganistan dan Irak menunjukkan, bahwa jaringan penyelundupan artefak berhubungan erat dengan pemberontak dengan kekerasan.

Akibatnya, para peneliti mendesak pejabat pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk menindak keras pada jaringan pencurian dan perdagangan gelap. Seperti berlian maut, peneliti mengatakan, barang antik maut mungkin akan membantu membiayai terorisme di Timur Tengah dan tempat lain.

Dan jauh melampaui zona perang, perampok makam dan pedagang menghancurkan data penting pada peradaban kuno dan menyumbang bagi kegiatan kriminal.