Ketika Alih Fungsi Hutan Turut Hapus Tradisi

By , Kamis, 19 Juni 2014 | 22:00 WIB

Alih fungsi hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, nyaris menghabiskan hutan asli di daerah ini. Masyarakat kini semakin sulit mendapatkan kayu, termasuk para perajin alat musik tradisional dan ukir-ukiran khas Siak yang semakin terpinggirkan.Bupati Siak Syamsuar mengatakan, sekarang kayu semakin langka di Siak karena hampir semua lahan di daerah ini telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia, bahan baku pembuatan minyak sawit serta kertas. ”Kayu-kayu di sini sebagian besar tinggal kayu akasia yang dimanfaatkan perusahaan-perusahaan besar untuk bahan kertas. Kami semakin kesulitan mencari kayu-kayu untuk bahan baku ukiran dan alat musik tradisional,” ujar dia, Rabu (18/6), di sela-sela acara Lawatan Sejarah Nasional XII yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Siak, Riau.Total luas lahan perkebunan sawit di Siak saat ini mencapai lebih dari 240.000 hektare. Sementara itu, lahan hutan tanam industri (HTI) untuk menanam pohon akasia di daerah ini seluas 220.000 hektare.”Kayu-kayu kami dari kecil sampai besar habis dibabat untuk perkebunan. Kami tinggal memiliki sedikit hutan lindung dan hutan kota sebagai ’paru-paru’ kota,” kata Syamsuar.Semakin minimnya hutan konservasi menjadi kendala serius bagi Kabupaten Siak karena berbagai macam tradisi lokal yang dahulu memanfaatkan sumber daya alam semakin sulit dipertahankan. Selama puluhan tahun, hutan-hutan konservasi di daerah ini telah digarap para pemodal untuk lahan perkebunan.T Firdaus (52), perajin alat musik gambus asal Kecamatan Sungai Apit, Siak, mengungkapkan, bahan baku pembuatan alat musik seperti kayu nangka dan cempedak semakin langka seiring merebaknya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. ”Sekarang sulit mencari bahan baku karena hutan-hutan sudah berganti dengan perkebunan. Untuk mendapatkan bahan baku membuat gambus, meruas, gendang, kompang, dan bebano kami harus mencari di kampung-kampung yang masih menanam pohon-pohon keras,” kata dia.Hal serupa diungkapkan Indriyanto (60), warga Kecamatan Mempura, Siak. Menurut dia, karena sebagian besar lahan hanya ditanami sawit dan akasia, pohon-pohon keras semakin sulit ditemukan sehingga harganya mahal. ”Tahun 1970-an saya masih bisa menyaksikan hutan asli di Siak. Tapi, mulai tahun 1980-an, hutan-hutan habis diganti perkebunan. Harga kayu keras campuran saja sekarang mencapai Rp2 jutaan per meter kubik,” ungkapnya.