Benarkah Adolf Hitler (1889-1945) itu psikopatik? Sejarah mencatat, sebetulnya Hitler ingin menjadi seniman, mendaftar ke Akademi Seni Murni di Wina, tahun 1907 dan 1908, tetapi tidak diterima karena "tidak layak melukis". Jika diterima, pembersihan kaum Yahudi itu mungkin bisa di-gambar-kan saja, tidak usah diwujudkan secara konkret dan efisien: masukkan kamar gas.
Hitler hanya bisa menggertakkan geraham, ketika dalam Olympiade Berlin 1936, pemenang lari 100 meter bukan dari ras Arya, melainkan Jesse Owens dari Amerika Serikat, yang berkulit hitam. Alih-alih sadar atas kepicikan rasis, semakin kuat tercatat dalam agenda tersembunyinya: keunggulan ras Arya harus dibuktikan dengan segala cara, termasuk membasmi kaum yang—waktu itu—tak bertanah air dan tak bernegara, tapi menguasai perekonomian, seperti Yahudi.
Pertanyaannya: mengapa ada juga, bahkan banyak, yang mendukungnya, sehingga orang seperti Hitler bisa jadi Kanselir Jerman? Pemimpin psikopatik (psychopathic leader) ternyata ditempatkan dalam perbincangan Narcissistic Personality Disorder (NPD). Disebutkan, pemimpin semacam itu adalah kulminasi dan perwujudan dari peradaban pada masanya: memang akan menonjol dalam khalayak narsisistik.
Narsisis akan menemukan, membentuk, dan memandang dirinya sendiri dengan keliru, sebagai bagian dari dongeng yang berada dalam pilihan ditakuti atau dikagumi. Semula menjaga jarak ketika menggenggam realitas, dirinya menjadi lebih buruk dalam jebakan kekuasaan. Delusi-diri dan fantasinya atas kebesaran, didukung autoritasnya sendiri dalam kenyataan, serta kegemaran narsisis untuk mengelilingi diri dengan para penjilat, hanya akan menguburnya (Vaknin, 2013: 47). Dalam dunia wayang, raja raksasa memang didukung raksasa. Raja monyet didukung monyet. Raja manusia didukung manusia. Bukankah tokoh-tokoh pendukung tertentu, terhadap seorang pemimpin tertentu, tampak "sejenis" alias karakternya "mirip-mirip" pemimpin tersebut?
Perbincangan tentang Stalin dalam Robert Conquest, The Great Terror: A Reassessment (1968) menempatkan psikopati seorang pemimpin sebagai penyebab langsung totaliterisme (Moscovici: 2011/06/29). Sedangkan dalam totaliterisme, ideologi menjelaskan segalanya berdasarkan tujuan, melakukan rasionalisasi atas segala halangan yang mungkin muncul maupun segala daya yang mungkin merupakan tantangan kepada negara. Dukungan rakyat mengizinkan negara memperluas wilayah tindakan dalam berbagai bentuk pemerintahan. Segala perbedaan pendapat dicap sebagai jahat dan perbedaan politik internal tidak diizinkan (www.britannica.com: 2014/6/9).
Terdapatnya lebih dari satu partai dan diselenggarakannya pemilu bukanlah jaminan suatu negeri tak jadi—dan tak akan menjadi—totaliter. Jangan kaget jika sejumlah pemikir memasukkan pula Amerika Serikat, setelah menyebut Nasional-sosialisme Jerman, Uni Soviet, dan Kuba, seperti dilakukan Marcuse (1964) dan Reich (1971), meski ada juga yang membatasi diri hanya pada Italia-nya Mussolini (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975: 134). Ideologi yang begitu populer seperti nasionalisme bahkan takkurang-kurangnya menjadi contoh kasus dari praktik totaliterisme [Ward, 1982 (1966): 37-41], begitu juga tentunya ideologi bernuansa keagamaan yang tampak "antihama", suci-murni, bersih dan tanpa noda.
Bagaimana khalayak terkibuli? Dengan mesin propaganda yang efisien, totalitarisme berhasil memberlangsungkan transformasi kelas-kelas sosial menjadi massa, sehingga partai-partai bukan dilebur ke dalam partai tunggal, melainkan dijadikan gerakan massa. Seorang pemimpin fanatik akan menciptakan massa yang merasa selalu dibohongi, diperlakukan tidak adil, dan berada di dalam sistem sosial politik yang keliru.
Ini membuat pemimpin macam apapun yang berjanji menggantikan sistem lama—yang telah membuat nasib mereka sungguh malang—akan didukung. Pendukung seperti ini lantas menjadi fanatik juga, sehingga ketika mengetahui betapa segenap retorika hanyalah semu, justru semakin bangga, karena tahu segalanya memang adalah kebohongan sahaja. Massa ini akan dibuat berdaya melalui suatu tujuan agresif, antara lain dengan memberinya musuh objektif, yakni berciri tertentu: dari cara rasis sampai sentimen kelas. Sentimen keagamaan jelas bukan perkecualian.
Rezim totaliter dalam sejarah tidak ada yang bertahan, tetapi saat itu korban sudah terlalu besar dan berlebihan, karena segenap tujuan ideologis yang mengingkari kehidupan nyata jelas melemahkan keberdayaan sosial. Di atas semua itu, pemusatan ekonomi yang didukung teror, hanya akan membawa dirinya sendiri menuju kebangkrutan, ketika kesadaran sudah sangat terlambat [Magnis-Suseno dalam Arendt,1995 (1979): viii-xxii].
Sejarah selalu berulang? Yang satu ini jangan.
-----------------
Catatan editor: Tulisan opini ini telah ditayangkan sebelumnya di Koran Tempo, Selasa, 17 Juni 2014. Tulisan ini ditayangkan atas izin penulis.