Jerami terlihat sepele. Limbah batang padi ini biasanya dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Namun, sentuhan teknologi membuatnya berguna sebagai sumber energi. Di situ terjadi pemuliaan.
Itulah pemuliaan alam ketika dalam diri manusia terbersit niat mengembangkan teknologi berbudaya untuk sesamanya. Tampaknya itulah pesan yang tergambar dalam karya berjudul ”Micronation/Macronation-Democratizing the Energy” dalam pameran Multymedia Art di Langgeng Art Foundation (LAF), Suryodiningratan, Yogyakarta, 12-21 Juni 2014.
Pameran digelar oleh HONF Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan teknologi bekerja sama dengan CATEC (Culture, Art and Technology Empowering Community).
Memasuki ruang pameran memang tidak lazim seperti pameran umumnya. Hanya ada tiga karya yang secara visual bisa dilihat langsung. Selebihnya adalah jajaran tujuh monitor yang terus menyala. Penonton akan bisa memahami makna pameran itu jika mau mencermati gambar dan mendengarkan narasi dengan alat pendengar (earphone). Pameran ini memang sebuah kolaborasi antara seni dan produk teknologi. Intinya memang bagaimana seni mengejawantahkan teknologi yang langsung bisa dinikmati penonton awam.
”Micronation/Macronation-Democratizing the Energy” yang digarap secara koloboratif oleh kelompok HONF Foundation, bermakna membangun kedaulatan pangan dan kedaulatan energi. Sesuai dengan temanya, menggambarkan lengkap bagaimana proses fermentasi serat jerami menjadi bahan energi yang bisa digunakan sebagai bahan bakar motor. Digambarkan dalam video itu, mulai dari petani memetik padi, berada di tengah hamparan padi, beberapa petani berkomentar senang jika jerami bisa menjadi bahan bakar.
Ditampilkan pula teknik proses pembuatan energi dari jerami, sampai pembuatan alat komputer yang disebutnya sebagai super komputer untuk menampilkan dan merekam gambar-gambar yang ditampilkan itu. Gambar-gambar grafis yang menggambarkan peluang dunia pertanian ditampilkan dengan berjumpalitan yang memancarkan nilai seni grafis yang indah.
”Banyak sekali unsur-unsurnya, bagaimana dengan keindahan kita menggambarkan data satelit, seni membuat etanol sebagai sumber energi juga kita garap dengan penampilan yang artistik,” kata Venzha, perupa yang ikut menggarap kolaborasi itu. Penutup dari karya ini munculnya Anies Baswedan, Rektor Paramadina, yang intinya menyatakan, buku atau pengetahuan tidak hanya disusun di rak, tetapi dibagikan kepada semua umat manusia.
Karya kolaborasi dari Universitas Sanata Dharma berjudul ”Sanata Dharma ICT 4Dnt” menggambarkan sinergi antara perajin kayu dan seni. Tergambar dalam video proses penggarapan kayu atas arahan dari perupa untuk membuat papan nama yang menyebut Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Sanata Dharma.
Hasil akhir karya itu, papan nama bukan sekadar menyebut sebuah identitas, sebuah jurusan di perguruan tinggi, tetapi tulisan identitas itu memiliki latar belakang karya seni kriya kayu, yang menarik dan penuh sentuhan seni dengan tata warna yang indah. Di sekitar tulisan identitas jurusan itu, juga tersedia bangku-bangku tempat duduk dengan kreasi-kreasi yang cantik.TerbukaKurator pameran, Irene Agrivina, menyatakan, pameran ini tujuan akhirnya adalah membangun budaya terbuka yang berarti membagi pengetahuan kepada khalayak luas tentang teknologi-teknologi yang bermanfaat bagi manusia. Upaya itu disertai dengan membangun sumber terbuka, dengan menyediakan softwaredan hardware yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat. ”Pokoknya intinya kami ingin mengajak orang dengan cepat memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam kemasan seni, entah itu musik, seni kriya, ataupun seni rupa dalam bentuk multimedia,” katanya.
Dengan pemahaman itu, Irene merindukan bahwa multidisiplin semua bermanfaat bagi umat manusia dan bisa memberi sesuatu kepada manusia. ”Sharingpengetahuan itu harus kita budayakan kepada umat manusia,” katanya.
Apa yang diungkapkan Irene, tampaknya sejalan dengan karya kolaborasi dari Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada, yang menampilkan karya berjudul ”DORXLab”. Karya ini di antaranya menampilkan desain mode pakaian yang beranjak dari kaidah-kaidah arsitektur.
Dalam tampilan seni multimedia yang indah seorang perempuan mengenakan pakaian warna merah yang berdesain unik dalam beragam pose. Pakaian merah itu tampak tergarap dalam tarikan-tarikan garis arsitektural yang ternyata juga indah ketika terkemas dalam karya pakaian. ”Yang beda jauh itu ternyata bisa disatukan,” kata Irene.
Dr. Budi Subanar yang menjadi moderator dalam diskusi yang menyertai pameran ini menyatakan, teknologi tidak selalu memperbudak. Ketika muncul dalam sentuhan-sentuhan seni budaya, kehadirannya lebih berbicara untuk umat manusia. (Thomas Pudjo Widijanto)