Ketersediaan infrastruktur, kelancaran informasi, akses perbankan, dan pendidikan belum merata di seluruh Indonesia. Tidak mengherankan, baru segelintir kota-kota di negara ini yang bisa meningkatkan potensi ekonomi kreatifnya.
Padahal, menurut pengamat perkotaan Yayat Supriatna, jumlah tersebut bisa ditambah jika kota-kota saling bekerja samadan dipimpin oleh wali kota kreatif.
Pada Sabtu (28/6), Yayat mengomentari gagasan mengenai "kota kreatif" di Indonesia. Menurut dia, gagasan tersebut menarik, lantaran Indonesia punya sumber daya manusia yang kreatif. Contoh sederhananya, setiap daerah punya jajanan, makanan, dan cinderamata khas. Jika dikemas dengan tepat, hal ini bisa menjadi daya saing Indonesia.
"Kita bisa melihat kalau melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, menunjukkan betapa kreatifnya penduduk kota tersebut. Ada juga kita pergi ke kota lain dan tidak bisa menemukan karya di daerah tersebut. Ini menjadi persoalan sekaligus tantangan. Memang, ada satu kecenderungan, kota-kota kreatif itu kota yang sudah berkembang," ujar Yayat.
Kecenderungan ini, menurut Yayat, sebenarnya bisa dijembatani lewat kerjasama antarkota. Kota yang sudah berkembang bisa membantu kota lainnya. Kota-kota kreatif yang kaya akan kerajinan tangan dan usaha kecil menengah tentu membutuhkan bahan dasar. Nah, bahan-bahan ini bisa ditemukan di daerah yang minim inovasi dan kreativitas. Dalam bentuk berbeda, bisa juga satu daerah yang lebih maju membimbing daerah lain lewat berbagai pelatihan dan pendampingan.
Yayat menambahkan, kerjasama pun tidak harus antarpemangku kepentingan. Pemerintah, khususnya para wali kota, bisa berperan sebagai medium. Namun, kerjasama untuk membangun usaha ekonomi kreatif harus menyasar langsung pada para pelaku usaha. Oleh karena itu, pemerintah satu daerah harus siap mengajak unsur masyarakat yang ingin dibina agar mampu mengembangkan usahanya. Langkah selanjutnya, tinggal mencari pelaku pasar yang bisa bekerja sama dengan pemerintah.
"Sudah saatnya punya wali kota kreatif. Tanpa pemimpin kreatif, daerah tidak bisa berkembang. Kota kreatif yang tidak dipimpin oleh pemimpin kreatif pun bisa ditinggal rakyatnya. Pada saat negara lemah, pasar masuk, kota bisa "diobok-obok". Karena itu, perlu intervensi. Pemerintah pusat seharusnya bisa melihat itu," imbuh Yayat.
Yayat kemudian memberikan contoh. Dia sendiri pernah membantu usaha kreatif di Jambi. Di sana terdapat potensi usaha batik dan pariwisata khas Jambi. Sayangnya, tanpa bimbingan orang yang sudah berpengalaman, sumber daya di sana bisa sia-sia.
"Kami membantu tata lingkungannya, kami bekerjasama dengan Yogyakarta. Intinya adalah, bagaimana orang di Jawa masuk membantu batik Jambi untuk disesuaikan dengan pasar. Caranya waktu itu, mencari mentor batik Yogyakarta untuk melatih di Jambi. Karena pengrajin lokal saat itu belum punya banyak tenaga," pungkasnya.