“Saudari kaum muslimat, jangan memaksakan diri dan menyakiti sesama pada saat masuk ke Raudhah dengan saling mendorong dan berdesak-desakan. Tunggulah giliran. Dengan izin Allah, masih banyak waktu untuk Anda dapat memasuki Raudhah dan melaksanakan salat di dalamnya.”
Tulisan berbahasa Indonesia, Turki dan Arab di dinding atas itu membuat saya malu sendiri. Kami sedang berada Masjid Nabawi, yang dirintis Nabi Muhammad ketika hijrah pada 622 Masehi ke Yatsrib, 420 kilometer utara Makkah. Selain makam Nabi, bagian yang paling bernilai di sini adalah Raudhah, Taman Surga, seluas 22x15 meter antara mimbar dan (bekas) kamar Nabi dengan istrinya, Siti Aisyah. Berdoa di sini akan cepat dikabulkan. Pantas diperebutkan.
Saya sempat berprasangka, bahwa jemaah Melayu mendapat diskriminasi. Para asykar (petugas) wanita dengan abaya dan cadar hitam itu memerintah jemaah Melayu–Indonesia, Malaysia, Brunei–untuk duduk sementara para jemaah Turki, Afrika dan negara-negara bekas Uni Sovyet dipersilakan langsung ke Raudhah. Ternyata, itulah cara mengatur kenyamanan dan keselamatan kami.
Bagaimana para Melayu yang bersosok lemah ini bisa “melawan” desakan mereka yang berbadan besar? Ketika tiba di Raudhah yang ditandai dengan karpet hijau, bukan merah seperti karpet lain dalam Masjid, saya harus berpikir ulang soal “berlomba-lomba dalam ibadah.” Itu tak berarti bahwa saya harus berlama-lama shalat dan berdoa sementara banyak yang menunggu giliran. Itsaar, beri kesempatan orang lain untuk juga berbuat baik.
Masjid yang awalnya seluas 30x35 meter dari batang-batang kurma itu kini menjelma bangunan berdinding dan lantai marmer yang bisa menampung satu juta jamaah. Dihiasi 674 lampu kristal dengan tiang-tiang dan lengkung kolom hitam putih yang khas dan cantik itu, semua diatur demi kenyamanan ragam jamaah.
Perempuan hanya bisa masuk dari satu pintu khusus ke ruang khusus doa bagi wanita, sembilan pintu lain bagi pria. Para wanita yang membawa anak-anak dapat bagian sendiri. Saya pernah dapat kesempatan lagi salat di Raudhah yang dikhususkan bagi para perempuan di kursi roda. Satu jam setelah salat Isya, Nabawi ditutup dan baru dibuka kembali pukul 03:00 dinihari untuk salat malam. Raudhah hanya dibuka bagi jemaah wanita 30 menit sesudah waktu shalat sampai setengah jam ke waktu salat berikutnya.
Ketika cahaya matahari memulas keemasan 10 menara, tiang-tiang di pelataran masjid pun seperti bunga pagi sore: mekar perlahan menjadi payung raksasa. Jelang senja, mereka menguncup lagi. Seni berpadu teknologi untuk kenyamaan jemaah, seperti halnya kubah yang bisa digeser otomatis di waktu tertentu hingga saya bisa memandangi bintang-bintang atau menyerap matahari pagi kala berdoa.
Keluar dari masjid, sudah disambut lambaian kerudung, abaya dan gamish (jubah) yang diseru-seru dalam bahasa Indonesia, “Lima riyal, sepuluh riyal.” Satu riyal setara Rp 2.500,- Begitu asykar (petugas) datang, para pedagang kaki lima keturunan Arab, India, Afrika itu pun sigap menggulung dagangan yang digelar dalam seprai besar, atau mendorong gerobak.
Ada kalanya, satu dua dagangan kantong bersulam itu jatuh tercecer dalam pelarian mereka. Tapi tiada satu pun orang akan mengambil. Di kota suci ini, bahkan hewan pun tenteram hingga merpati bercengkerama bebas di seputar piazza sisi Masjid.
Walau ingin segera tidur usai salat Tarawih, suatu malam saya dan Trizki tak bisa menolak pasangan Joko dan Heli yang mengajak mengikuti kebiasaan lokal : makan jelang tengah malam. Di belakang Hotel Oberoi, sisi Dhalah Thaibah tempat kami menginap, ada pujasera yang antara lain menawarkan nasi berempah ala Timur-Tengah–saya masih saja sulit membedakan nasi mandhi (Yaman), kabli (Afganistan), kabsah (Arab Saudi), biryani (India) dengan campuran daging ayam atau kambing. Kami berbaur dengan keluarga lokal dan jamaah lain di taman dengan bangku-bangku bertenda di seberang pujasera, seperti khusus ditujukan bagi taman santap.
Selain berjalan kaki seputar Nabawi ke Percetakan Alquran dan Baqi, taman makam Khalifah Usman bin Affan, para istri dan putra-putri Nabi, dengan bus kami ke Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun Nabi, empat kilometer selatan Nabawi. Salat dua rakaat di sini berpahala setara umrah. Kala umrah Ramadhan, ada jamaah pria, pengusaha agribisnis yang nyaris sebulan sekali umrah, selalu salat di sini tiap hari, pulang pergi naik taksi sendiri.
“Selamat datang di Kebun Kurma Al Barokah Abdul Rahman Barki Barokah Alhaebi” menyambut dekat Masjid Quba. Saya senang mendapatkan kurma basah (ruthab) dengan warna kulit buah kuning dan merah, di antara puluhan jenis tamar (kurma kering) dengan berbagai khasiat. Saya beli ajwa, kurma kesayangan Nabi kualitas terbaik seharga 150 riyal per kilogram. Bila disantap tujuh butir tiap pagi, menurut hadits (perkataan Nabi), akan terhindar dari racun dan sihir.
Sayang, kami datang bukan di waktu panen hingga tak bisa menyaksikan aksi pemetik yang memanjat pohon kurma laiknya penyadap nira dan pemetik kolang-kaling pohon aren. Di sini ada doa untuk Madinah: “Ya Allah, jadikanlah semua yang Engkau jadikan di Madina dua kali lipat apa yang Engkau jadikan dari keberkahan di Makkah.”
Selain ke tempat-tempat sejarah Islam yang dijadwalkan travel umrah seperti Jabal (gunung) Uhud, Masjid Qiblatain dan Sab’ah (Perang Khandaq), kami iuran lagi 10 riyal untuk singgah di Jabal Magnet di Montiqo Baidho, 30 kilometer di luar Madinah. Beberapa tahun terakhir, di seruas wilayah yang telah dibelah jalan mulus ini, ditemukan fenomena alam: Tanpa dikendalikan sopir, bus melaju sendiri sampai 120 kilometer per jam tanpa dikendalikan sopir. Penjaja es krim bermobil tiba pula di sini.
Hari terakhir di Madinah, dari hotel kami telah mandi, para pria berpakaian ihram–dua lembar kain tak berjahit–dan singgah di Bir Ali, masjid tempat miqat (mengambil niat) umrah sebelum menempuh 432 kilometer menuju Makkah dengan seruan menggetarkan yang terus digemakan dalam enam jam perjalanan bus, “Labbayk allahumma labbayk …Ya Allah, aku sambut panggilan-Mu ….”