Di Bukit Pertemuan inilah, usai tragedi buah terlarang di surga, Adam yang diturunkan di puncak Everest atau India, dan Hawa di Irak atau Jeddah, setelah beratus tahun berjalan dan mencari, bertemu kembali.
Kami mendaki ke puncak, yang ditandai dengan tugu putih diiringi para pria muda keturunan Arab yang tak jemu merayu sambil menyodorkan spidol, “Gratis, tulis nama di batu.”
Tapi selalu saja ada jemaah pria muda dari suatu negara Arab yang gemar mengingatkan, “Haram! Haram!”
Artinya tidak boleh. Jabal Rahmah memang dikenal sebagai Bukit Cinta. Yang berniat mendapatkan jodoh, berdoalah, bukan membuat graffiti.
Di depan kami terbentang Padang Arafah, tempat utama puncak ibadah haji dengan wukuf (berkumpul) bersama jutaan umat di dunia. Semua dalam kondisi sama, setara di hadapan Tuhan, latihan menuju Hari Perhitungan di akhir dunia. Walau, terutama di Jabal Rahmah, justru saya lihat begitu banyak “perbedaan kelas” manusia.
Entah, terutama saat Ramadhan, mengapa begitu banyak pengemis berkulit hitam, dengan anggota tubuh seperti tangan dan kaki tak lengkap. Bawaan lahir? Kecelakaan? Jawaban Busyro dan Hamdani, petugas travel umrah, tak bisa memuaskan keingintahuan saya.
Saat umrah itulah saya juga baru perhatikan, bahwa pembimbing ibadah kami bergelar Habib. “Itu sebutan untuk dzurriyaturrasul (ahli bait) keturunan nabi. Kiai itu keturunan raja, alim ulama. Di Madura keturunan raja saat muda disebut lora (raden), pas tua disebut kiai. Sudahlah, tak perlu membahas ini. Semua manusia sama di mata Tuhan, yang membedakan keimanannya,” Ustad Busyro mengakhiri percakapan