Petugas dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengekskavasi Situs Liyangan di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (23/6). Situs Liyangan ini disebut sebagai penemuan terlengkap kawasan permukiman zaman Mataram Kuno abad VII yang tertimbun material vulkanik Gunung Sindoro.
Letusan Gunung Vesuvius yang menimbun Kota Pompeii, Italia, tahun 79 menjadi sejarah dramatis ingatan dunia. Tak perlu jauh-jauh ke Italia, kisah serupa bisa ditemukan di lereng Gunung Sindoro, tepatnya di Dusun Liyangan, Kelurahan Purbasari, Ngadireja, Temanggung. Sebuah kompleks peribadatan Hindu Kuno hilang tertimbun letusan Gunung Sindoro pada 971 Masehi.
Tanpa sengaja, penambang pasir dan batu di Dusun Liyangan menemukan struktur batuan andesit berupa umpak yang berfungsi sebagai landasan rumah pada kedalaman 7-12 meter pada 2008. Di bagian atas batuan itu tersisa dinding bambu dan kayu yang menjadi arang.
Penemuan itulah yang akhirnya menguak misteri kompleks Liyangan yang ribuan tahun tertimbun material vulkanik Sindoro. Tak banyak yang mengira di lereng pegunungan yang curam itu pernah tinggal sekelompok masyarakat dengan tradisi dan kepercayaan tertentu.
Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta kemudian mengekskavasi untuk mengungkap struktur batuan mirip bangunan candi tersebut. Dari lima kali ekskavasi ditemukan dua halaman luas yang diduga merupakan areal peribadatan Hindu kuno periode Mataram kuno abad ke-7 hingga ke-10 Masehi. Sesuai dengan lokasi penemuannya, kompleks itu lalu dinamakan Situs Liyangan.
”Di halaman pertama Liyangan terdapat batur sebagai landasan pendopo berukuran 8 meter x 8 meter. Sementara itu, di halaman kedua ada sebuah candi dan empat batur dengan rumah kayu berdinding anyaman bambu beratap ijuk. Di sisi barat, terdapat batur ukuran berukuran 24 meter x 24 meter yang kami duga landasan sebuah pendopo besar,” kata Ketua Tim Ekskavasi Situs Liyangan dari Balar Yogyakarta Sugeng Riyanto, Jumat (27/6), di Temanggung.
Dahsyatnya letusan Gunung Sindoro tahun 971 Masehi jelas terlihat dari sisa-sisa kayu dan bambu yang seluruhnya menjadi arang karena terbakar awan panas. Bahkan, sebuah tiang kayu besar pendopo berdiameter 35 sentimeter ditemukan terlempar ke bawah sejauh 30 meter dari halaman dua areal peribadatan.
Di sekitar kompleks itu, arkeolog menemukan pula aneka macam hasil pertanian, seperti tumpukan ikatan padi, jagung, pala, dan kelapa. Sama seperti temuan lainnya, barang-barang tersebut juga telah menghitam menjadi arang. Meski demikian, ada pula aneka perkakas yang mampu bertahan dari erupsi, seperti tembikar, guci, dan peralatan logam.
”Peralatan logam yang kami temukan, antara lain lima lampu gantung perunggu dan genta (lonceng) perunggu yang merupakan perangkat peribadatan. Penemuan ini menunjukkan tempat ini memang menjadi kompleks khusus peribadatan Hindu kuno,” kata dia.
Tak ditemukan korbanMeski tertimbun material vulkanik Sindoro hingga kedalaman 12 meter, sampai sekarang para arkeolog tidak menemukan jejak korban erupsi di kompleks Liyangan. Itulah yang membedakan kisah Pompeii dengan Liyangan. Di Pompeii, letusan Vesuvius diprediksi menewaskan 10.000 hingga 25.000 jiwa.
Awal 2014, Balar Yogyakarta memang menemukan fragmen tulang tengkorak belakang, tulang tangan, dan gigi individu perempuan berumur sekitar 22 tahun di Liyangan. Namun, dilihat dari konteks lapisan tanah di sekitarnya, individu tersebut dipastikan tidak meninggal karena erupsi Sindoro.
”Tulang belulang individu itu tidak terbakar. Di bagian atasnya ada semacam lubang yang kami perkirakan semacam kubur. Dengan demikian, individu tersebut memang tidak meninggal akibat letusan gunung,” kata Kepala Balar Yogyakarta Siswanto.
Dengan minimnya penemuan jejak-jejak korban erupsi, masyarakat Mataram Kuno diperkirakan sudah berpikir maju dan mengenali tanda alam. Diduga kuat mereka telah mengungsi sebelum erupsi Gunung Sindoro menimbun permukiman tersebut.