Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang berlangsung di Bonn, Jerman pada 4-15 Juni 2014 membawa angin positif menuju Kesepakatan Global Perubahan Iklim 2015 dengan banyak negara pihak berbicara mengenai pentingnya penurunan level emisi karbon sehingga tercapai target dunia yang netral karbon.
Negara-Negara Pihak meminta agar elemen-elemen draft kesepakatan 2015 tersedia sebelum pertemuan berikutnya bulan Oktober tahun ini.
Berbagai elemen kesepakatan 2015 harus mencakup beberapa hal seperti: identifikasi aspek-aspek jangka panjang dan jangka pendek dari kesepakatan 2015, meningkatkan agregat pengurangan emisi, penyesuaian sarana implementasi (means of implementation) termasuk di dalamnya aspek-aspek pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi semua pihak.
Di samping itu, dalam konferensi Bonn juga ditekankan pentingnya pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) yang dirancang sesuai kebutuhan (fit-for-purpose). Para Pihak juga memberikan pandangan tentang operasionalisasi kesepakatan 2015 yang akan disampaikan sebelum COP ke-21 di Paris pada 2015.
Dalam sesi konferensi tersebut, Indonesia menyampaikan pentingnya peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Upaya tersebut harus didukung oleh para pemangku kepentingan lain termasuk sektor swasta dan berbagai pihak termasuk masyarakat.
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar yang bertindak sebagai Ketua Delegasi RI menyatakan bahwa Indonesia ingin menegaskan kembali komitmen semua pihak untuk ambisi pra-2020 dan inisiatif lebih lanjut meningkatkan skala praktik terbaik di sektor penggunaan lahan untuk mitigasi perubahan iklim dan tindakan adaptasi.
“Kita tahu bahwa komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca oleh pemerintah berbagai negara saja tidak cukup untuk mencegah peningkatan temperatur rata-rata kurang dari 2 derajat Celcius dibandingkan temperatur sebelum masa Revolusi Industri,” ujarnya. Hal tersebut juga diungkapkan Rachmat Witoelar pada dua pertemuan tingkat menteri dalam rangkaian konferensi perubahan iklim Bonn.
Indonesia menekankan bahwa implementasi pasca-2020 pun tidak lepas dari apa yang berjalan dan diimplementasikan hingga 2020. Oleh karenanya, Indonesia memandang implementasi hingga 2020 sebagai hal penting. Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan oleh negara maju di bawah Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua (KP-CP2) serta aksi mitigasi negara berkembang tidaklah cukup jika negara maju yang berada di luar KP-CP2 tidak melakukan komitmen mitigasi dan melaksanakannya setara dengan apa yang dilakukan di bawah KP-CP2.
Pertemuan juga menyebutkan bahwa kesepakatan 2015 harus kuat, mendasar dan cukup rinci. Serta memiliki fleksibilitas sehingga dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Fleksibilitas ini dimaksudkan untuk memberi ruang untuk dapat terus meningkatkan upaya dalam pengendalian dan penanganan perubahan iklim.
Hingga 5 Juni 2014 tersebut, baru sepuluh Negara peratifikasi Protokol Kyoto yang menyampaikan instrumen penerimaan amandemen kepada PBB, termasuk Tiongkok. Dalam kesempatan ini, Indonesia menekankan pentingnya implementasi KP-CP2 yang akan menjadi dasar dan titik awal implementasi upaya global pasca 2020.
Indonesia juga menekankan bahwa upaya meningkatkan pengelolaan hutan oleh negara-negara berkembang hanya dapat dicapai melalui sumber pembiayaan yang berkelanjutan dan dapat diprediksi serta dengan dukungan teknologi dari negara maju.
Negara-negara maju juga harus memberikan dukungan untuk membantu negara-negara berkembang dalam menghilangkan hambatan pengembangan teknologi dan investasi hijau, termasuk melalui mekanisme pasar dan non-pasar.
Suzanty Sitorus, Sekretaris Kelompok Kerja Pendanaan DNPI sekaligus Delegasi Indonesia menambahkan, “Terkait dengan panduan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), terutama yang menyangkut sektor berbasis lahan, Indonesia mengingatkan semua pihak bahwa dalam upaya memperkecil gap ambisi penurunan emisi yang ada, maka skala aksi perlu ditingkatkan, lebih tepatnya dalam penyiapan acuan mengenai REDD+. Aturan-aturan yang menentukan dan mengatur berbagai inisiatif yang ada harus sedapat mungkin sederhana. Namun, dapat dilaksanakan.”