Mengapa Orang Tibet Bisa Hidup di Dataran Sangat Tinggi?

By , Kamis, 3 Juli 2014 | 21:32 WIB

Di Tibet, orang bisa bertahan hidup di dataran yang sangat tinggi. Orang Tibet bisa tinggal dengan kondisi sehat pada ketinggian lebih dari 13.000 kaki atau sekitar 3.900 meter. 

Ketika kita mendaki ke dataran tinggi, kita akan berusaha lebih keras untuk menarik napas, mungkin pucat, lalu secara bertahap beradaptasi. Hal itu kita lakukan untuk menghasilkan lebih banyak sel darah merah agar kemampuan darah menyerap oksigen lebih tinggi. 

Makin tinggi dataran, makin banyak kita membuat sel darah baru sehingga darah makin kental. Namun darah yang semakin kental tersebut menimbulkan konsekuensi bagi tubuh, sel darah menjadi lengket dan meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, serangan jantung, dan pada ibu hamil bisa menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah.

Pada orang biasa efek tersebut akan dirasakan, tapi tidak pada penduduk asli dataran tinggi Tibet. Mengapa?

Rahasia tubuh mereka bisa beradaptasi pada lingkungan tersebut ada pada gen yang disebut EPAS1, yang memungkinkan mereka menyerap lebih banyak oksigen tanpa perlu membentu sel darah baru. Yang menarik, hal ini ternyata ada kaitannya dengan mutasi genetik yang berasal dari spesies manusia lain. 

Dalam laporan yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, nenek moyang orang Tibet ternyata kawin dengan spesies manusia yang kini sudah punah, yang dikenal dengan Denisovan. Spesies ini diperkirakan hidup sekitar 40.000 tahun lalu. Perkawinan tersebut terjadi antara manusia modern dengan spesies manusia lain. Kita berbagi sejumlah gen dengan spesies Neanderthal yang lebih dikenal, yang merupakan sepupu jauh dari Denisovan. (Lihat: Kemampuan Hidup di Dataran Tinggi Diwarisi dari Gen Manusia Purba)

Bagi penduduk asli Tibet, gen dataran tinggi memungkinkan mereka berkolonisasi di tempat yang orang lain tak akan bisa bertahan. Gen ini sebenarnya juga dimiliki oleh sebagian orang dari suku Han di Tiongkok.

"Kami menemukan bagian dari gen EPAS1 pada orang Tibet hampir identik dengan gen pada Denisovans, dan ini sangat berbeda dengan manusia pada umumnya," kata ketua peneliti Rasmus Nielsen.