Ada Empat Lembaga Survei yang Tak Penuhi Kaidah Statistik

By , Kamis, 10 Juli 2014 | 08:29 WIB

Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia mengatakan, empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak memenuhi kaidah statistik. Alasannya, selisih suara yang dirilis keempat lembaga survei itu tidak ada yang lebih dari 2 persen atau masih dalam batas margin of error.

Hal itu disampaikan Manajer Riset Puskapol FISIP UI, Dirga Ardiansa melalui pesan elektronik, Rabu (9/7) malam.

"Hasil quick count lembaga survei tersebut tidak bisa diambil kesimpulan apa pun dan batal berdasarkan kaidah statistik. Karena, selisihnya harus lebih dari nilai margin of error-nya yang 1 persen," kata Dirga.

Empat lembaga survei yang dimaksud adalah Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Indonesia Research Center (IRC), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI). Khusus mengenai Puskaptis, Dirga mengatakan, lembaga itu memang mengeluarkan hasil dengan selisih suara 2 persen.

"Artinya nilai 52 persen (Prabowo) bisa ada kemungkinan kenyataannya turun menjadi 50 persen dan nilai 48 persen Jokowi naik menjadi 50 persen. Jika kondisi seperti itu, hasil Puskaptis yang paling mencolok pun tidak bisa disimpulkan hasilnya berdasar kaidah statistik," ujar dia.

Dirga mengatakan, hal ini berbeda dengan beberapa lembaga survei yang memenangkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Beberapa lembaga survei tersebut, kata dia, menunjukkan selisih lebih dari 2 persen.

"Maka, secara keilmuan statistik bisa diambil kesimpulan hasilnya (oleh tim Jokowi-JK)," kata dia.

Beberapa lembaga yang dimaksud Dirga adalah Litbang Kompas, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Lingkaran Survei Indonesia, dan Radio Republik Indonesia (RRI).

Mengapa berbeda?

Dirga mengatakan, salah satu faktor penentu tingkat presisi sebuah hitung cepat adalah jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang digunakan sebagai sampel. Menurut dia, semakin banyak jumlah sampel TPS yang diambil, semakin presisi prediksi lembaga survei tersebut terhadap hasil pemilu.

"Tapi hasil mereka bukan berarti tidak bisa meleset dari kenyataannya. Maka, setiap lembaga harus declare berapa tingkat ambang batas kesalahan yang mereka ambil. Ini yang disebut margin of error," kata dia.

Staf Pengajar Ilmu Politik UI itu, menjelaskan, perbedaan hasil hitung cepat tergantung dari faktor pengukuran, seperti besaran jumlah TPS, distribusi atau coverage (jangkauan) wilayah, dan tingkat keacakan dalam menentukan TPS.

"Tapi juga ada faktor non pengukuran, yaitu faktor etika dan manusianya sebagai penggerak riset tersebut. Faktor yang terakhir sulit dibuktikan, tapi ada pengaruhnya karena terkait kredibilitas," kata Dirga.